Jumat, 15 Januari 2010


Akhirnya jadi juga blog ini setelah melewati masa-masa tragis dikhianati,disakiti dll(bkan alay ni)
banyak pembelajaran yg gw dapet,,dan akhirnya aq tuangin di sini,,ga menarik memang,,tapi entah kenapa aq suka aj buat posting'in.,,
back to broken heart,,sedih ya pasti,,tapi untung q bkan tipe2 al
ay yang serasa m loncat dari grand mall,,,(positiv thinking),,q punya temen2 kampus yg slalu ngasih gw tawa,keceriaan,,,iyya ini ni mereka...cantik2 kan,,hehe hatinya maksud'e...ni siy belum smua sbenere,,,tp yang jelas semua bikin berkesan,,,dengan suasana menarik,,pengalaman menarik,,whateverlah namanya,,,,we're fun!

aq mo bertrimaksih bgt buat seseorang yang udah ngasih pembelajaran apapun,,n merubah aq menjadi lebih baik,,,sang mantan yang paling menarik,,,,bhahahahaha....

eeeh tapi bukan dia lho yang bkin broken,,dia yg bkin aq berubah lebih baik,,,thank frieeeeeeend!

pemahaman desa umum dan khusus di Indonesia

A Pengertian umum desa
Egon E. Bergel (1955:121) mendefinisikan desa sebagai setiap pemukiman para petani (peasants). Ciri utama yang melekat pada desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal( menetap )dari suatu kelompok masyarakat yang relative kecil,bukan hanya berhubungan dengan pertanian. Dengan kata lain terdapat keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Jadi dalam sosiologi jenis ikatan semacam itu disebut komunitas (community).
Koentjaraningrat memilah pengertian komunitas ke dalam dua jenis yakni komunitas besar (kota,negara bagian,negara.dll) dan komunitas kecil (band,desa,rukun tetangga.dll). Maka menurut koentjaraningrat,desa adalah komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat.
Paul H. Landis (1948:12-13) mendefinisikan desa menjadi 3 macam,yakni:
a Untuk tujuan analisa statistic
Desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang
Kelemahannya : definisi tersebut tidak mempertimbangkan tingkat kepadatan penduduk suatu negara dimana desa tertentu berada,dan definisi tersebut tidak menampung perubahan-perubahan volume penduduk suatu desa.
b Untuk tujuan analisa social-pikologik
Desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal diantara sesama warganya.
Kelemahannya : terutama terlihat di negara maju dimana perbedaan antara desa dengan kotanya sudah tidak jelas lagi termasuk tingkat keakraban dan informalitas hubungan antar penduduknya.
c Untuk tujuan analisa ekonomik
Suatu lingkungan yang penduduknya tergantung pada pertanian.
Definisi ini tampaknya lebih tetap diterapkan secara umum baik di negara yang belum maju maupun yang sudah maju. Kelemahannya adalah tidak diperhitungkannya desa-desa non pertanian.
Menurut Koentjaraningrat(1997:11),manusia baru mengenal cocok tanam sekitar 10.000 tahun lalu. Cocok tanam memaksa manusia untuk hidup menetap di suatu tempat untuk menjaga dan menunggui panenan. Karena pertanian dilaksanakan di tempat-tempat teretentu yang subur,maka para pencocok tanam cenderung tidak berjauhan satu sama lain.
Seorang ahli sejarah,Gordon F. Childe(dalam Koentjaraningrat,1977:37) mengemukakan bahwa penemuan cocok tanam merupakan “revolusi kebudayaa”. Dengan ditemukannya pertanian bukan hanya menyebabkan lahirnya desa,tetapi lebih lanjut juga kota.
Eksistensi desa selalu dikaitkan dengan cocok tanam. Cocok tanam itu sendiri paling tidak ada dua system yang berbeda dan berbeda pula pengaruhnya terhadap kehidupan manusia,yakni cocok tanam ladang dan cocok tanam menetap.
Ada yang berpendapat bahwa peladang berpindah bukanlah petani melainkan pencocok tanam. Hal ini karena petani merupakan kesatuan komunitas kecil yang jelas sedangkan pencocok tanam lebih ditandai oleh jenis mata pencahariannya,yakni hidup dari pertanian tetapi belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat petani.

B Beberapa konsep pokok
Beberapa konsep pokok dalam sosiologi pedesaan tidak sepenuhnya hanya mengenai desa atau pedesaan tapi juga berkaitan dengan konsep kota atau perkotaan.
• Alasan teoritik(perspeksi evolusioner unilinear)
Desa dilihat sebagai wakil dari suatu masyarakat yang masih bersahaja dan terbelakang. Perspektif ini selalu melihat masyarakat dalam proses perubahan dari masyarakat bersahaja ke masyarakat yang kompleks. Sehingga perspektif ini selalu menggunakan kerangka pemikiran yang dinamik.
• Alasan empirik
Sejarah kehidupan peradaban manusia meningkat dengan pesat sejak ditemukannya cocok tanam,hingga lahirnya fenomena kota.
Tetapi kenyataannya ada pula kota yang terlepas dari kota,karena bukan merupakan proses evolusioner dari suatu desa.Di daerah timur tengah muncul kota-kota “mendadak” ,yang disebabkan oleh fungsinya sebagai pusat kegiatan perdagangan.
Keterkaitan desa-kota dapat pula dilihat dari segi struktur kekuasaan (power structure).Dimana desa-desa selalu terpengaruh oleh aspek-aspek kehidupan kota.
Konsep-konsep dalam rangka pemahaman desa:
1. Rural
Dalam kamus lengkap Inggris-Indonesia,suntingan S.Wojowarsito dan W.J.S poerwodarminto(1972),rural adalah “seperti desa,seperti di desa”dan secara umum diterjemahkan menjadi “pedesaan”bukan desa.
2. Urban
Urban diartikan “dari kota,seperti kota”atau yang umum diterjemahkan menjadi perkotaan,juga bukan kota.
3. Suburban atau rurban
Sering diartikan dengan “pinggiran kota”.Tepatnya suburban adalah merupakan bentuk antara (in-between) antara rural dan urban. Dan dilihat sebagai suatu bentuk komunitas,merupakan kelompok komunitas yang memiliki sifat tengah-tengah atara rural dan urban.
4. Village
Istilah village menurut Egon Ernest Bergel(1955:121-135) :
a. Desa diartikan sebagai setiap pemukiman para petani terlepas dari ukuran besar kecilnya.
b. Desa-desa perdagangan adalah pemukiman yang sejumlah penduduk dari desa itu memiliki mata pencaharian dalam bidang perdagangan.
5. Town
Kota kecil(town) oleh Bergel didefinisikan sebagai suatu pemukiman perkotaan yang mendominasi lingkungan pedesaan dalam berbagai segi. Kota kecil biasanya berfungsi sebagai pasar. Kota kecil dan desa memiliki hubungan timbal balik. Kota kecil mempunyai cirri khas organisasi sosialnya ketat. Masalah pokok yang sering dihadapi kota kecil:
a. Kurangnya kesempatan-kesempatan yang tersedia.
b. Konservatisme yang ekstrim,yang mengakibatkan melenyapkan golongan muda.
6. City
Kota besar(city) menurut Bergel adalah suatu pemukiman perkotaan yang mendominasi sebuah kawasan(region) baik pedesaan,maupun perkotaan. Kota besar di lain pihak merupakan system keagamaan.kebudayaan,politik,ekonomi,kegiatan rekreasional yang rumit dan mengandung diferensiasi tinggi.

C Karakteristik desa umum
Penjelasan mengenai desa yang bersifat elementer tidak terpisah dengan penjelasan mengenai kota dan perkotaan. Kerangka pemikirannya umumnya menggunakan perspektif evolusioner yang menempatkan desa sebagai gambaran dari masyarakat yang masih “bersahaja”dan kota sebagai wakil dari masyarakat yang sudah “maju,kompleks”.Sehingga karakteristik kedua gejala itu bersifat polair,kontras satu sama lain,yang menjadi patokan untuk menempatkan gejala desa-kota yang sebenarnya.
Dalam merumuskan sejumlah karakteristik yang kontras tersebut.Ada sejumlah sosiolog yang cendrung pada pemikiran yang bersifat teoritik,antara lain:
- Konsep-konsep dikhotomik dari Ferdinant Tonnies (Gemeinschaft-Gesselschft)
- Charles H. Cooly(primary and secondary group)
- Emile Durkheim(solidaritas mekanik dan organic)
- Roucek dan Warren:
Karakteristik masyarakat desa:
a. Besarnya peranan kelompok primer
b. Faktor geografik yang menentukan suatu dasar pembentukan kelompok
c. Hubungan bersifat intim dan awet
d. Homogen
e. Mobilita social rendah
f. Keluarga ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi
g. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar

Karakteristik masyarakat kota:
a. Besarnya kelompok sekunder
b. Anomitas merupakan ciri kehidupan masyarakatnya
c. Heterogen
d. Mobilita social tinggi
e. Tergantung pada spesialisasi
f. Interaksi lebih didasarkan atas kepentingan daripada kedaerahan
g. Banyaknya fasilitas atau lembaga untuk mendapatkan pelayanan
h. Lebih banyak mengubah lingkungan
- Pitirim A.Sorokin dan Carle C. Zimmerman(jenis mata pencaharian merupakan faktor pembeda yang pokok dan penting,baik perbedaan dalam besar kecilnya skala usaha ataupun ukuran komunitas dan tingkat kepadatan penduduk)

Diukur dari unit teritorialnya tingkat kepadatan penduduk desa rendah karena kehidupan mereka dari sector pertanian yang memerlukan lahan yang luas.Sedang masyarakat kota tidak menuntut lahan luas karena hanya untuk pemukiman atau industrial plant.
Sedangkan mengenai lingkungan sebagai factor penentu karakteritik desa-kota,Smith dan Zopf memberikan catatan mengenai konsep lingkungan dalam tiga jenis:
a. Lingkungan fisik/anorganik
b. Lingkungan Giologik
c. Sosio-Kultural:Physiosocial,biosocial,dan psycosocial
Mengenai diferensiasi social sebagai factor penentu terhadap karakteristik desa dan kota,masyarakat kota tingkat diferensiasinya lebih tinggi daripada masyarakat desa karena penduduk kota mayoritas adalah pendatang yang datang dari berbagai penjuru dengan berbeda latar belakang etnis,agama,ideology, dan lain sebagainya.
Mengenai stratifikasi social,terdapat empat perbedaan pokok:
a. Pelapisan social social pada masyarakat desa lebih sederhana dibanding dengan yang ada pada masyarakat kota.
b. Perbedaan(Jarak social) antar lapisan social pada masyarakat desa tidak begitu jauh dibandingkan dengan masyarakat kota.
c. Lapisan masyarakat disa tidak sekedar lebih sederhana dari masyarakat kota,tetapi pada masyarakat esa terdapat kecenderungan untuk mengelompok pada lapisan menengahnya.
d. Dasar pmbeda antara lapisan masyarakat kota tidak kaku seperti masyarakat desa.
Mengenai mobilita social,masyarakat pedesaan lebih rendah daripada masyarakat perkotaan baik yang bersifat vertical maupun horizontal.
Mengenai interaksi social pada masyarakat kota jauh lebih banyak dibandingkan pedesaan. Menurut Sorokin dan Zimmerman ada lima perbedaan system interaksi antara desa dan kota:
a. Area kontak masyarakat desa lebih sempit daripada masyarakat kota.
b. Hubungan masyarakat pedesaan lebih bersifat personal disbanding masyarakat kota.
c. Hubungan di kalangan masyarakat pedesaan lebih bersifat permanent,kuat dan awet daripada masyarakat kota.
d. Interaksi social masyarakat pedesaan kurang terdiferensiasi,kurang kompleks,kurang plastis,kurang artificial,dan kurang baku dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.
Mengenai solidaritas social,pada masyarakat pedesaan lebih didasarkan pada kesamaan-kesamaan,sedang pada masyarakat kota didasarkan atas perbedaan-perbedaan.
Ciri masyarakat kota berdasar faktor-faktor menurut Kingsley Davis:
1. Heteroginitas social lebih tinggi
2. Terdapat asosiasi sekunder karena banyaknya penduduk maka tidak mungkin hidup dalam kelompok primer.
3. Toleransi social tinggi
4. Pengawasan sekunder merupakan system pengawasan social yang efektif.
5. Mobilita social tinggi dan cenderung menekankan pentingnya prestasi
6. Asosiasi sukarela (lebih memiliki kebebasan untuk memutuskan berbagai hal secara perorangan)
7. Individuasi
8. Segregasi spasial (kelompok social yang berbeda cenderung memisahkan diri secara phisik).

Sedangkan ciri-ciri masyarakat desa prakapitalis:
1. Penundukan kegiatan ekonomi di bawah kegiatan social
2. Keluarga dalam masyarakat desa era ini merupakan unit sasembada secara ekonomis.
3. Tradisi dapat dipertahankan berkat swasembada ekonomi
4. Desa cenderung menatap ke belakang
5. Masyarakat desa prakapitalis setiap orang merasa menjadi bagian dari keseluruhan,menerima tradisi dan moral kelompok sebagai pedoman.

D Desa-desa di Indonesia
Desa merupakan fenomena yang bersifat universal,tetapi di samping itu juga memiliki ciri-ciri khusus yang bersifat local,regional ,maupun nasional. Selaku fenomena universal desa,desa di dunia memiliki sejumlah ciri yang sama.Sedangkan selaku fenomena khusus desa memiliki ciri-ciri yang berbeda satu sama lainnya.
Desa di Indonesia sangat beragam,sesuai dengan kebhinekaan Indonesia,sehingga sangat sulit membuat suatu generalisasi karakteristik desa di Indonesia yang khas dan membedakan dengan negara lain.
Istilah desa berasal dari Jawa,Madura, dan Bali. Desa dan dusun berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tanah air,tanah asal atau tanah kelahiran.Dusun dipakai di daerah Sumatera Selatan dan batak. Di Maluku dikenal istilah dusun dati.Desa-desa di Jawa menyerupai desa di India.Maka tidak heran bila ada pihak yang menyatakan bahwa desa di Jawa adalah buatan India.

E Latar belakang keberadaan desa-desa di Indonesia
Mengenai kemunculan fenomena desa tergantung pada bagaimana pengertian desa dirumuskan. Bila diartikan menurut EE Bergel (setiap pemukiman petani) atau selaku komunitas kecil yang menempati territorial tertentu(definisi Koentjaraningrat). Maka keberadaan desa di persada nusantara sebenarnya sudah lama sekali.
Sebagaimana digambarkan Soemono (1992),mengacu pada penelitian Von Heine Geldern tentang persebaran kapak persegi,hakekatnya sejak jaman Neoltikum pertanian telah dikenal. Hal ini didasarkan pada penemuan beberapa kapak yang besar dan mirip pacul.
Mengenai pendapat ”bahwa desa-desa di jawa adalah buatan India “ lebih tepatnya adalah pengaruh India yang mulai masuk pada abad-abad pertama tarikh Masehi itu telah meningkatkan budaya dan organisasi social masyarakat desa,bukan menciptakannya.
Perdebatan mengenai asli tidaknya desa-desa di Jawa berhubungan dengan kepentingan Belanda pada jaman kolonial. Bermula dari “penemuan” desa-desa di seluruh pantai utara jawa oleh Herman Warner Muntinghe.Hal itu menciptakan gagasan mengenai Laundrete pada jaman Raffles yang kemudian berkembang menjadi Culturstelse pada jaman Van Den Bosch. Melihat persamaannya dengan desa-desa di India,Van Den Berg dan Kern berkesimpulan bahwa desa-desa tersebut adalah buatan India. Pendapat tersebut bertentangan dengan Van Vollenhoven,De Louter,Brandes Liefrinck,Lekkerkerker. Sutardjo Kartohadi koesoemo berpendapat bahwa desa-desa tersebut asli karena di daerah lain(bahkan Filipina)yang tidak terkena pengaruh hindupun juga terdapat daerah-daerah hukum semacam desa tersebut meski namanya berbeda.
Sekalipun istilah desa berasal dari Bahasa Sanskrit,namun desa-desa di Indonesia bukanlah buatan India.

F Desa sebagai kesatuan hukum (adapt) dan kesatuan administrative
Desa-desa di Indonesia merupkan produk dari proses yang sangat panjang,memiliki keunikan masing-masing,serta memiliki akar sejarahnya masing-masing,jauh sebelum Indonesia lahir sebagai suatu negara.Sutardjo Kartohadikoesoemo(1953) mendefinisikan desa sebgai suatu kesatuan hukum,dimana bertempat tinggal suatu masyarakat,yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
Pemerintahpun telah mengakui kemandirin desa-desa di Indonesia melalui Inpres Nomor 5 Tahun 1976.Menurut Inpres ini “desa adalah desa dan msyarakat hukum yang setingkat dengan nama aseli lainnya dalam pengertian territorial-administratif langsung di bawah kecamatan”.
Pengarahan sert pembatasan desa dari statusnya sebagai kesatuan hukum(adat) menjadi kesatuan (territorial)administratif tersirat dalam UU No 5 Tahun 1979 yang berisi:
Pasal 1,huruf a: desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan msyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan rendah langsung ke bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 1,huruf b:Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempatti oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat,yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Dengan tumbangnya rejim orba terjadilah perubahan,termasuk perubahan di tingkat desa.Perubahan itu meliputi perubahasb dari karakter sentralistik dan otoriter menjadi desentralistik dan demokratik.Berkaitan dengan itu UU Nomor 5 Tahun 1979 diganti dengan UU Nomor 22 Tahun 1999.UU yang baru ini lebih menekankan pada otonomi daerah.
Dalam ketentuan Umum yang termuat dalam pasal 10 UU No 22 Tahun 1999 disebutkan:
Desa atau yang disebut dengan nama lain,selanjutnya disebut desa,adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adapt istiadat setempat yang diakui dalam system Pemerintah Nasional dan berada di daerah Kabupaten.
Di samping itu pasal 93 dari UU tersebut menyatakan bahwa:
(1.) Desa dapat dibentuk,dihapus,dan atau digabung dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.
(2.) Pembentukan,penghapusan,dan atau penggabungan Desa,sebagaimana dimaksud pada ayat (1.),ditetapkan dengan peraturan daerah.
Namun secara umum perubahan-perubahan yang terjadi belum tampak signifikan,baik secara normative maupun kenyataan empiriknya.

G Tipologi Desa di Indonesia
Sumber Saparin(1977:120) menyebutkan bahwa masyarakat desa dibagi menjadi beberapa tipe masyarakat,yaitu:
1. a Desa tambangan (kegiatan penyebrangan orang dan barang dimana terdapat sungai besar)
b Desa nelayan(mata pencaharian di bidang perikanan)
c Desa pelabuhan (hubungan dengan mancanegara,antar pulau,pertahanan /strategi perang dan sebagainya).
2. Desa perdikan(desa yang dibebaskan dari pungutan pajak)
3. Desa penghasil usaha pertanian,kegiatan perdagangan,industri/kerajinan,pertambangan,dan sebagainya.
4. Desa-desa perintis(terjadi karena transmigrasi)
5. Desa pariwisata(adanya objek pariwisata)
Dari yang telah disebutkan di atas,desa nelayan merupakan desa yang sangat penting dan paling banyak jumlahnya di Indonesia(sesudah desa pertanian). Desa nelayan adalah desa yang mata pencaharian penduduknya mencari ikan(di laut).
Salah satu ciri utama kehidupan nelayan(tradisional) Indonesia adalah kemiskinan,bahkan lebih miskin dibandingkan desa pertanian.Hal ini disebabkan oleh tantangan alam yang berat,keterbatasan penguasaan modal perikanan(perahu dan alat tangkap),keterbatasan modal di luar usaha pertanian(uang),keadaan pemukiman kurang memadai,kemampuan yang rendah dalam memenuhi kebutuhan pokok pribadi(Wahyuni,1993:1).Selain itu juga karena kepadatan desa nelayan dengan pola kerja yang homogen memperkecil pendapatan perorang karena didapat dari sumber yang sama.
Menurut Dirgen PMD Depdagri (1972),tipologi masyarakat desa dibagi menjadi lima tipe,yakni:
1. Tipe masyarakat desa tradisional(pra desa)
Banyak dijumpai pada masyarakat terasing yang berpola kehidupan tradisional sederhana. Pemenuhan kebutuha bergantung pada alam dan terdapat pembagian kerja antara laki-laki dengan perempuan.
2. Tipe desa swadaya
Kondisi desa relative statis,sudah menggantungkan pada tingkat ketrampilan dan kemampuan dari seorang pemimpin. Struktur masyarakat bersifat vertical dan statis dimana kedudukan seorang dinilai dari keturunan dan luasnya kepemilikan tanah.
3. Tipe desa swakarya(desa peralihan)
Kehidupan masyarakat sudah tidak bergantung pada alam dengan menjadi sumber kehidupan yang lain,seperti berdagang,memanfaatkan ketrampilan lainnya. Kedudukan social diukur berdasarkan ketrampilan dan keahlian yang dimiliki.
4. Tipe desa swasembada
Kehidupan masyarakat dinamis,maju,mengenal mekanisasi pertanian dan menggunakan teknologi ilmiah dalam mengelola usaha taninya.Banyak yang mencari nafkah di bidang lain. Status dan kedudukan individu dinilai dari prestasi,kemampuan dan ketrampilan.
5. Tipe desa pancasila
Merupakan tipe ideal yang diidamkan masyarakat,yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur.







DAFTAR PUSTAKA


Raharjo.1999.Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian.Yogyakarta:UGM Press.
Darsono Wisadirana.2004.Sosiologi Pedesaan.Malang:UMM Press.

kedudukan wanita dalam keluarga dan struktur masyarakat pedesaan

1. Pengertian Keluarga dan Rumah Tangga
Keluarga merupakan lembaga sosial pokok dalam masyarakat yang terdiri dari satu atau lebih wanita yang hidup bersama dengan satu atau lebih laki-laki beserta anak-anak mereka. Rumah Tangga adalah kesatuan sosial ekonomi yang anggotanya berada dalam satu rumah atau bagian dari rumah dan ini merupakan kelompok lokal (special group). Biasanya anggotanya mempunyai ikatan kekeluargaan melalui ikatan kekeluargaan melalui ikatan perkawinan, keturunan, dan adopsi.

2. Bentuk Keluarga
Ada beberapa bentuk keluarga yang dikenal menurut dasar pembagiannya yaitu :
a) Berdasarkan frekuensi perkawinan, dikenal ada empat tipe :
• Monogami yaitu tipe atau bentuk keluarga yang terdiri dari seorang suami dengan seorang istri bersama anak-anak mereka.
• Poligami ( poligini ) yaitu tipe atau bentuk keluarga yang berasal dari suatu perkawinan yang pasangan-pasangannya terdiri dari atas satu orang suami dengan dua orang istri atau lebih.
• Poliandri yaitu tipe atau bentuk keluarga yang berasal dari suatu perkawinan yang pasangan-pasangannya terdiri atas seorang istri dan dua orang suami ( perkawinan ini hanya di jumpai pada orang Nayar yang hidup di Negara bagian India )
• Perkawinan kelompok yaitu merupakan suatu bentuk keluarga dimana antara laki-laki dan perempuan bebas berpasangan dalam satu kelompok tertentu.
b) Berdasarkan atas komposisi anggotanya terdiri dari tiga bentuk keluarga :
• Keluarga Inti ( Nuclear family = keluarga batik ) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak mereka yang belum kawin. Dengan menempati satu rumah atau sebagian dari rumah dan mereka merupakan keluarga domestik. Keluarga inti ini secara resminya selalu terbentuk oleh suatu hubungan perkawinan berdasar peraturan perkawinan yang sah.
• Keluarga Luas ( Extended family ) yaitu suatu bentuk keluarga yang terdiri dari lebih dari satu keluarga inti, membentuk satu rumah tangga yang tersendiri dengan pekarangan yang sama. Keluarga luas ini terbentuk karena adanya tambahan dan sejumlah orang lain, tidak yang sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti. Orang-orang sekerabat ini bisa berasal dari pihak suami maupun dari pihak istri atau dari pembantu rumah tangga yang tinggal bersama dengan majikannnya.
• Keluarga luas sendiri dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
 Keluarga luas utrolokal, berdasarkan adat utrolokal yaitu terdiri dari suatu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batik dari anak-anak laki-laki maupu perempuan.
 Keluarga luas virilokal, berdasarkan adat utrolokal, terdiri dari suatu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batik dari anak laki.
 Keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adat uxorilokal, terdiri dari suatu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batik dari anak-anak perempuan.

3. Kedudukan Wanita dalam Struktur Masyarakat Di Pedesaan
Sebagai dasar yang penting untuk mengetahui suatu struktur social adalah adanya relasi-relasi social yang jelas dan tetap serta dalam keteraturan yang menyatukan suatu kelompok – kelompok sosial pada suatu satuan tertentu, baik satuan kecil maupun satuan yang lebih luas.
Kedudukan wanita pada klasifikasi dua tahap dalam struktur masyarakat diperlihatkan dalam bentuk ceritera- ceritera dongeng. Dalam cerita dongeng, wanita memiliki kedudukan yang lebih rendah dari pria, namun juga bias memiliki kedudukan yang sejajar dengan pria. Missal pada cerita pewayangan, yang menggambarkan kegagahan wanita ddan kedudukan wanita yang sejajar dengan pria, seperti Dayang Sumbi dengan Sangkuriang. Menurut Leslie (dalam Horton dan Hunt, 1971) tinggi rendahnya kedudukan wanita dalam suatu struktur masyarakat ditentukan oleh besar kecil dan tinggi-rendahnya peran yang dijalankan oleh wanita itu sendiri. Makin tingginya peran yang dimiliki wanita maka akan semakin tinggi statusnya dalam keluarga dan masyarakat.
Pada klasifikasi tiga tahap kedudukan seseorang berada pada tiga tingkatan yaitu berada pada tingkatan atas, tingkatan menengah, dan tingkatan rendah. Kedudukan antara wanita dan pria dalam struktur masyarakat menrut Koentjaraningrat (1958) dapat dilihat melalui proses perkembangan kebudayaan manusia.
Berdasarkan perkembangan kebudayaan manusia, Koenjoroningrat membagi struktur masyarakat ke dalam 4 tingkatan:
• Terbentuknya kelompok keluarga batih (nuclear family), yang merupakan inti dari masyarakat. Disini kedudukan wanita adalah sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh anak dan mempunyai kedudukan di bawah pria.
• Terbentuknya kelompok keluarga yang mengikuti garis keturunan ibu atau matrilineal, kedudukan wanita dalam kelompok keluarga ini adalah lebih tinggi daripada laki-laki
• Terbentuknya kelompok keluarga dengan laki-laki sebagai ayah atau mengikuti garis keturunan laki-laki atau patrilineal, laki-laki memiliki kedudukan tertinggi.
• Terbentuknya kelompok keluarga yang mengikuti garis keturunan dari laki-laki dan perempuan atau bilineal, kedudukan laki-laki dan perempuan sama.

Dalam kehidupan masyarakat dari dulu hingga sekarang masih terdapat perbedaan antara kedudukan wanita dengan pria. Wanita sering didudukan pada posisi yang lebih rendah dari pria dalam berbagai bidang kehidupan, hal ini karena adanya norma dan nilai dalam masyarakat yang menganggap bahwa kedudukan wanita lebih rendah dari pria dan belum adanya pengakuan secara operasional terhadap hak dan kewajiban yang dipunyai wanita. Perbedaan kedudukan antara pria dan wanita dalam suatu struktur masyarakat, biasanya ditunjukkan dalam bentuk peran dan status pria dan wanita di dalam masyarakat.
Proses sosialisasi yang dilakukan orang tua pada anak akan mempengaruhi sifat-sifat anak tersebut kelak setelah dewasa. Dalam proses sosialisasi, oarang tua biasa menanyakan pada anak laki-laki tentang keinginannya untuk menjadi apa setelah dewasa, sementara pada anak perempuan menanyakan mengenai pakaian pengantin yang telah diperolehnya. Tidak mengherankan bila setelah dewasa, anak laki-laki akan lebih memikirkan karinya dan anak perempuan akan tidak mempedulikan pada karirnya dan lebih sibuk pada masalah perkawinan.
Terdapat anggapan perbedaan kedudukan antara pria dan wanita. Pria sebagai pencari nafkah dan mempunyai karir pekerjaan, akan berada pada status tinggi atau diatas. Sedangkan wanita yang bekerja di sektor domestik atau dirumah serta tidak memiliki karir akan berada pada status bawah. Keadaan ini dalam konsep gender disebut sebagai terjadinya ketidakadilan gender.
Konsep ketidakadilan gender merupakan suatu upaya menjelaskan tentang kedudukan pria dan wanita yang tidak seimbang dalam berbagai aspek kehidupan karena pria selalu berada pada posisi yang lebih tinggi daripada wanita. Hal ini ditandai dengan adanya:
• Proses marjinalisasi bagi kaum wanita yaitu wanita terpinggirkan atau tersisihkan dari berbagai kegiatan yang menguntungkan
• Subordinasi wanita oleh kaum laki-laki yaitu wanita dikuasai oleh laki-laki dalam berbagai hal kehidupan.
• Terjadinya pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif bagi kaum wanita.
Konsep gender menurut Fakih (1996) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya, seperti perempuan mempunyai sifat lemah lembut, emosional, sabar, teliti, mencintai, berbakti, berkorban, mengasuh anak, melahirkan dan lainnya. Sedangkan pria mempunyai sifat kasar, kuat, rasional, gagah, suka marah, keras kepala, tanggung jawab, berjiwa pemimpin, berkuasa, dan mandiri.
Menurut Muhidin (1998) dengan melihat stratifikasi gender, maka dapat diamati suatu proses dimana individu atau kelompok orang (laki-laki dan perempuan) menduduki tempat tertentu dalam tatanan hierarki masyarakat atas dasar perbedaan akses terhadap sumber-sumberekonomi dan sosial.
Dilihat dari perspektif sosiologi, stratifikasi gender mengandung arti adanya hierarki distribusional oleh gender terhadap sumber ekonomi dan sumber sosial di masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat, pria (super ordinate) selalu dikategorikan ke dalam kelompok yang memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber sosial daripada kaum wanita (sub ordinat).
Di berbagai negara di dunia terutama negara berkembang seperti di Indonesia, tingkat ketrampilan dan pendidikanyang dicapai kaum wanita di desa rata-rata lebih rendah daripada laki-laki. Tingkat pendidikan formal kaum wanita desa rata-rata hanya 3 tahun sekolah bahkan banyak yang tidak sekolah dan buta huruf.
Rendahnya tingkat pendidikan wanita desa bukan tidak adanya keinginan kaum wanita untuk maju,tetapi semata-mata karena terbatasnya sarana,waktu dan kesempatan yang ada bagi kaum wanita.selain hal tersebut juga karena adanya norma dan pandangan tradisional atau sikap budaya dari sebagian masyarakat Indonesia terutama yang ada di pedesaan yang sudah berakar bahwa wanita tidak perlu pendidikan yang tinggi-tinggi guna menunaikan tugas yang dibebankan.wanita sebagian besar sebagai bagian dari masyarakat berada pula ditengah persimpangan antara masyarakat agraris dan industi antara tradisional dan modernisme,yang terutama dialami wanita-wanita di pedesaan.

4. Pembagian Kerja Menurut Jenis Kelamin
Menurut teori sosiobiologi pembagian kerja secara seksual adalah sesuatu yang wajar,bersumber pada perbedaan struktur genetis dari pria dan wanita.sedangkan menurut teori fungsionalis pembagian kerja secara seksual merupakan kebutuhan masyarakat dan diciptakan untuk keuntungan seluruh masyarakat itu sebagai keseluruhan fungsi wanita adalah untuk didalam rumah yaitu fungsi keserasian. Pembagian kerja antara pria dan wanita terjadi karena untuk saling melengkapi dan ini terutama berlaku masyarakat yang masih sederhana,dimana pembagian kerja selalu dibagi-bagikan.
Dalam teori structural fungsional,parsons ( 1985 )menberi gambaran mengenai perbedaan pola peranan antar laki-laki ( sebagai suami ) dan perempuan ( sebagai istri ) dalam suatu rumah tangga dengan model peran instrumental digambarkan sebagai peran ekspresif.peran instrumental digambarkan sebagai peran yang berorientasi eksternal yang digunakan untuk mencapai tujuan keluarga dan peran ini dilakukan oleh suami ( kaum laki-laki ),sebaliknya peran yang digambarkan sebai peran ekspresif yang berorientasi internal ditujukan untuk memelihara keseimbangan keluarga dilakukan oleh istri atau ( kaum perempuan ).
Pembagian kerja secara seksual selalu tetap dipertahankan karena adanya beberapa factor yang berpengaruh antara lain :
1. Karena secara biologis pria menunjukkan citra kejantanan,sebaliknya wanita menunjukkan kelemahannya,sehingga ada keinginan pria untuk melindungi wanita.
2. Pada system kapitalisme yaitu adanya kebutuhan tenaga kerja yang murah yang bekerja dirumah tangga.
3. Dalam segi kerja wanita lebih ulet dan pria kuat namun kurang ulet,sehingga untuk pekerjaan yang membutuhkan ketetatenan dan waktu lama,dikerjakan wanita dan sebaliknya.
Sebenarnya penbagian kerja antara laki-laki dan perempuan dari zaman dulu,hal ini dikatakan oleh Poebtjaraka ( 1968 ) bahwa sejak zaman panji sudah ada pembagian kerja antara wanita dan laki-laki secara spesifik.pria bekerja membersihkan senjata ( panah,keris dan tombak ) dan wanita bekerja membuat kue dan makanan.keterlibatan wanita desa di bidang pertanian maupun non pertanian akan memberikan satu dukungan terhadap perkembangan pembangunan pedesaan,sebab potensi tenaga kerja wanita yang besar akan meningkatkan kerja di desa.dismping itu dengan keterlibatan wanita dalam mencari nafkah akan menimbulkan perubahan sosial sebab salah satu perubahan sosial adalah perubahan dalam kerja khususnya untuk wanita di pedesaan Jawa.masuknya wanita dalam pasar kerja atau kerja produktif akan berpengaruh terhadap keadaan ekonomi rumah tangga,sehingga terjadi perubahan struktur ekonomi keluarga.
Berdasarkan potensi yang ada pada wanita dan mempunyai peran yang cukup besar dalam pembangunan pedesaan,maka wanita Indonesia harus dilihat sebagai sumber daya manusia,sehingga perlu dibina sama halnya dengan laki-laki baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam pekerjaan pencarian nafkah. Wanita dalam masyarakat Indonesia sebagian besar mempunyai peran ganda yaitu di satu pihak mempunyai peran sebagai tenaga kerja,dalam arti sebagai ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga produktif yang tidak memberikan hasil cash, tetapi memberi hasil yang dapat dihitung dari waktu yang dicurahkan dan di lain pihak wanita mempunyai peran kerja sebagai tenaga kerja pencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya.
Wanita di pedesaan banyak melakukan pekerjaan di bidang pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, berdagang juga bekerja pada bidang-bidang industri, baik industri besar maupun industri kecil. Hal ini menunjukkan telah terjadi perubahan social terutama perubahan pada bidang ekonomi, yaitu bergesernya peran kerja pria dari bidang ekonomi atau luar rumah tangga ke bidang kerja domestik atau dalam rumah tangga.

5. Sistem Pertanian pria dan wanita
Sifat utama dari perkembangan ekonomi adalah kemajuan ke arah pola pembagian kerja yang makin tajam dan makin besar variasinya. Baik di dalam masyarakat primitive maupun yang lebih maju, pembagian kerja tradisional diantara keluarga petani dianggap alamiah dan ditentukan oleh perbedaan jenis kelamin.pola pertanian wanita biasanya terdapt terutama di daerah perladangan berpindah dimana bajak tidak diperlukan, sedang pertanian pria di daerah yang menggunakan bajak.
Pada pola pertanian wanita, para wanita mempunyai tugas sebagi pengolah tanah, seperti mencangkul dan menanam tanaman serta membersihkan rumput pengganggu tanaman.sedangkan para laki-lakinya mengatur hasil panenan dan menjaga tanaman.

ciri ilmu sosial positivis

Ciri-ciri ilmu social positivis
1. Bebas nilai : Antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas,dengan kata lain nilai – nilai pengamat tidak dilibatkan ketika melakukan pengamatan, sehingga kesimpulan ”apa adanya”.
2. Fenomenalisme : tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut.Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika).Maksudnya apa yang diamati merupakan fenomena belaka
3. Nominalisme : kebenaran terletak pada penamaan, bukan pada kenyataan itu sendiri.
4. reduksionisme : menyederhanakan kenyataan menjadi fakta – fakta yang dapat direduksi(diamati).
5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri
6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis).

flamboyan

FLAMBOYAN


Klasifikasi Ilmiah Flamboyan
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Fabales
Family : Fabaceae
Subfamily : Caesalpinioideae
Tribe : Caesalpinieae
Genus : Delonix
Species : D. regia
TERDAPAT banyak julukan yang diberikan orang sebagai bentuk kecintaan dan kekaguman terhadap bunga yang bernama Latin Delonix regia itu. Orang Indonesia menyebutnya flamboyan, yang diadaptasi dari kata flamboyant (bahasa Prancis) yang bermakna “cemerlang”. Kalangan ilmiah menyebutnya Royal Poinciana. Orang India menyebutnya dengan gulmohar. Julukan lainnya adalah “flame of the forest”, “flame tree”, atau bersama-sama dengan mawar dijuluki juga sebagai “queen of the flame”.
Ada sejumlah kontroversi berkaitan dengan nama populer flamboyan. Sebagian menyebut dengan istilah “mohr” (artinya merak) dan “gul” (artinya bunga). Secara harfiah, maknanya mendekati peacock flower (bunga merak) atau di Indonesia dikenal juga dengan sebutan jingoh. Meski sama-sama cemerlang dengan warna bunga merah dan jingga, flamboyan jelas berbeda dengan bunga merak.
Orang India menyebutnya dengan nama gulmohar. Nama etnik lainnya adalah sunkervara, mayarum, atau shima sankesula. Namun, di antara nama-nama yang diberikan, yang paling dikenal adalah nama yang berasal dari bahasa Prancis, fleur de paradis dan flamboyant. Nama inilah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat kita di Indonesia.
Sedangkan nama botani Royal Poinciana diberikan sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gubernur Antilles, M. de Poinci, yang pada abad ke-17 untuk pertama kalinya membawa tanaman flamboyan dari habitat aslinya yang liar di hutan Malagasy Barat, Madagaskar, untuk kemudian didomestikasi dan disebarluaskan ke berbagai belahan dunia. Berkat jasa Poinci pula, bunga flamboyan yang semula dianggap angker itu bisa dinikmati keindahan oleh masyarakat, termasuk kita di Indonesia.
Di luar julukannya itu sendiri, istilah flamboyan juga menjadi sebutan untuk orang atau situasi tertentu. Ada istilah “flamboyant personality” untuk menyebut pribadi yang cemerlang. Ada juga “flamboyant colors” untuk menggambarkan warna yang semarak dan penuh bunga. Atau “flambo-yant speech” untuk menyebutkan situasi pidato atau pembicaraan seseorang yang penuh dengan bunga bahasa.
Masa berbunganya memang tergolong jarang, sekali dalam setahun. Persisnya terjadi pada masa pancaroba, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Saat itulah, bunganya bermekaran. Namun, karena tampilannya yang luar biasa menawan, orang selalu menanti dan merindukan kehadiran bunganya. Apalagi, setiap kali bunga bermekaran, akan tercipta suasana romantis, saat yang tepat untuk rendezvous. Itulah flamboyan, pohon legendaris yang oleh kalangan pencinta tanaman hias dikenal sebagai “tanaman terindah di dunia”.
PENUH WARNA
Flamboyan adalah tanaman hias berbentuk pohon dengan perilaku unik dan penuh warna. Tingginya bervariasi dengan paling tinggi mencapai 12 meter. Ia menyukai tempat terbuka dan cukup sinar matahari. Batangnya licin, berwarna cokelat kelabu dengan teras sangat keras, berat, dan tahan air atau serangga. Akarnya cukup kuat sehingga jika ditanam di trotoar bisa mengangkat permukaan trotoar atau jalan. Bentuk pohonnya yang bercabang banyak dan melebar seolah membentuk payung raksasa. Dengan bentuk daun majemuk dan rapat, menciptakan kerimbunan yang khas dan memberikan kerindangan, serta kenyamanan bagi siapa pun yang berteduh di bawahnya.
Daun-daunnya akan terus menghijau sepanjang musim hujan hingga awal musim kemarau. Barulah ketika memasuki pertengahan kemarau, daun-daun flamboyan berguguran. Bahkan beberapa batang dan rantingnya mengering, meranggas, lalu patah. Saat itu, flamboyan tampak seperti pohon yang kurus dan gundul. Tampaknya, inilah cara alami flamboyan beradaptasi dengan perubahan lingkungannya.
Namun, begitu air mulai tercurahkan dari langit dan musim hujan tiba, flamboyan yang tampak kering dan meranggas itu bergairah. Mereka pun seolah menebar “senyum” lewat kemunculan bunga-bunga berwarna jingga dan merah. Ya, ketika musim hujan tiba, bunga flamboyan bermekaran serentak. Periode inilah yang banyak ditunggu pencinta bunga, yang selama hampir setahun dengan sabar menanti kemunculan kembali sang pohon cemerlang itu menampakkan bunganya.
Bunga flamboyan berukuran cukup besar, berbentuk seperti anggrek dan mekar dalam sebuah kumpulan yang padat dan rapat. Warnanya antara merah jingga hingga merah tua (scarlet). Dalam satu kumpulan terdapat lima helai mahkota bunga yang menyebar, di mana salah satunya tampak berbeda dari empat mahkota lainnya. Inilah yang disebut dengan “standar” di mana ukurannya tampak lebih panjang dan ditandai oleh bintik-bintik putih atau kuning pada sisi bagian dalam. Rata-rata panjang tiap helai mahkota bunga 8 cm.
Keindahan bunga flamboyan akan tampak jika bunga itu masih di pohon dalam bentuk “gerombolan”. Jika dilihat satu per satu, bunganya tampak kurang menarik. Namun, untuk bisa menyaksikan kecerlangan bunga flamboyan memang harus pandai mencari waktu yang tepat. Bunga flamboyan biasanya terlihat paling cemerlang pada minggu pertama kemunculannya. Pada saat langit cerah dan matahari bersinar terang, warna merah jingga menyala memendarkan cahaya berkilauan. Birunya langit yang menghampar luas, seolah menjadi latar belakang yang menciptakan kontras dari sebuah lukisan alam dengan warna merah bunga flamboyan sebagai objeknya. Saat itulah, kita akan menyaksikan panorama alam yang luar biasa menakjubkan, sebuah gambar hasil ciptaan Tuhan yang tak mungkin bisa ditandingi siapa pun.
Sayangnya, periode penuh keindahan itu hanya sebentar. Begitu memasuki minggu berikutnya, kecerlangan bunga flamboyan mulai luntur. Kita hanya akan menyaksikan warna pastel yang lebih lembut dan merah tua yang sudah redup. Penampakan bunganya mulai membosankan. Apalagi kemudian, satu per satu bunganya berguguran, berjatuhan, dan berserakan di atas rerumputan atau aspal jalan. Meski demikian, musim bunga flamboyan yang berlangsung antara bulan Oktober hingga Desember itu tetap menghadirkan suasana romantis. Bagi sebagian masyarakat kita—entah berhubungan langsung atau tidak—periode tersebut sering pula disebut musim kawin atau bercinta.
Seiring berjalannya musim hujan dan rontoknya bunga, flamboyan pun berganti warna penampilan, dari merah ke hijau. Inilah periode kemunculan daun-daunnya yang secara perlahan mengalami evolusi dari warna hijau muda menjadi hijau tua cerah. Daunnya tergolong daun majemuk, berbentuk seperti pakis, ringan, dan lembut. Daunnya terbagi dalam dua tangkai (pinnate), tangkai utama (pinnae) dan tankai skunder (pinnules). Panjang daun mencapai 30-50 cm. Dalam satu daun terdapat 20-40 pasang pinnae dan 10-20 pasang pinnules.
Flamboyan merupakan tanaman berbunga yang tumbuh di kawasan tropis dan subtropis. Tanaman ini cukup toleran di daerah kering dan kondisi air yang asin. Di daerah dengan kondisi kemarau panjang, daun flamboyan tumbuh hampir sepanjang musim. Namun, di daerah lain, flamboyan malah menggugurkan daun-daunnya seperti terjadi di Suriname dan sebagian Indonesia. Musim berbunganya berbeda antara satu tempat/negara dengan tempat/negara lain. Jika di Indonesia bunga flamboyan mekar pada Oktober-Desember, di India bunganya mekar pada periode April-Juni.
Setelah bunga rontok, putiknya berubah menjadi buah yang berbentuk seperti pedang (polong). Saat masih muda, warna buahnya hijau muda cerah, namun saat kering dan tua, akan berubah menjadi cokelat dan hitam. Panjang buah bisa mencapai 60 cm dan lebar 5 cm. Meski buahnya berbentuk polong besar, bijinya tergolong kecil dengan berat tiap biji rata-rata 0,4 gram. Bijinya bisa ditanam untuk menghasilkan tanaman baru, namun biasanya budi daya flamboyan dilakukan dengan cara stek batang atau cangkok karena alasan kepraktisan.
BELUM POPULER
Di sejumlah negara, flamboyan sudah menjadi komoditas penting sebagai tanaman hias yang diperdagangkan. Di Indonesia sebenarnya tanaman ini juga sudah cukup banyak dikenal dan dibudidayakan di berbagai tempat. Namun, umumnya masyarakat kita menanam flamboyan lebih karena alasan fungsinya sebagai peneduh yang cepat tumbuh. Di beberapa kompleks perumahan atau trotoar jalan, pohon flamboyan mudah dijumpai. Sedangkan menjadikan flamboyan sebagai tanaman hias demi terciptanya keindahan, harus diakui masih sangat kurang.
Di Kepulauan Karibia biji flamboyan digunakan sebagai instrumen perkusi yang dikenal dengan sebutan the shak-shak atau maraca. Status tanaman ini termasuk yang dilindungi.
Karena lebih ke alasan fungsional sebagai peneduh, tanaman flamboyan sering ditanam cul leos, alias setelah tumbuh, ya sudah, dibiarkan hidup sendiri, tanpa mendapat perawatan atau pemeliharaan sebagaimana layaknya dilakukan terhadap tanaman hias. Tak jarang, tanaman pun bisa tumbuh menjulang tinggi dan tak terawat. Padahal, dengan perlakuan yang tepat melalui pemangkasan yang teratur, kita bisa menghasilkan bentuk tanaman yang tidak terlalu tinggi. Atau sistem penanaman yang berjejer teratur. Sehingga saat musim bunga tiba, kita bisa menyaksikan keindahannya lebih leluasa. Sambil menikmati kemunculan bunganya, kita juga akan tahu bunga itu sebagai pertanda, musim hujan sudah tiba.
Sumber:
www.geogle-serch.flamboyan-yang-elok-dan-menawan.html

FEMINISME

Persoalan Teori Feminisme
Teori femini bertolak dari pertanyaan sederhana :”dan bagaimana dengan perempuan?” dengan kata lain, dimana wanita berada didalam setiap situasi yang diteliti? Bila wanita tak berperan , mengapa? Bila mereka berperan, apa sebenarnya yang mereka lakukan? Bagaimana mereka mengalami situasi? Apa yang mereka sumbangkam untuk itu?apa arti itu bagi mereka?
Pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan selama lebih dari 30 tahun ini menghasilkan kesimpulan yang dapat digeneralisasikan. Dimana wanita tak berperan, itu bukan karna keterbatasan, kemampuan atau perhatian mereka tetapi karena ada upaya sengja untuk mengucilkan mereka. Dimana mereka berperan,peran mereka sangat berbeda dari gambaran popular tentang mereka.
Pertanyaan mendasar kedua feminism adalah:”mengapa semuanya ini terjadi?” pertanyaan ini memerlukan penjelasan tentang dunia sosial itu sendiri,deskripsi dan penjelasan tentang kehidupan sosial adalah dua wajah setiap teori sosiologi. Upaya feminism menjawab pertanyaan ini telah menghasilkan teori sosial umum.
Pertanyaan mendaasar ketiga untuk semua feminis adalah :”bagaimana kita dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih adil bagi perempuan dan semua orang?” komitmen terhadap transformasi sosial dalam keadilan adalah crri istimewa dari teori sosial kritis, sebuah komitmen yang juga dianut dalam sosiologi oleh feminism, marxisme, neo-marxisme, dan teori-teori sosial yang dikembangkan minoritas etnis dan ras dan masyarakat pasca colonial.
Selama periode ini, para feminis meneliti pertanyaan ke empat:” dan bagaimana dengan perbedaan diantara perempuan?” jawaban untuk pertanyan ini menghasilkan kesimpulan umum bahwa ketidakterlihatan, kesenjangan,dan perbedaan peran dalam hubungannya dengan lelaki, yang umumnya mencirikan kehidupan wanita, sangat dipengaruhi olah lokasi sosial wanita yaitu, oleh kelasnya, rasnya, usioanya, efeksionaknya, status maritalnya, agamanya, etnisitasnya, dan lokasi globalnya.
Seberapa umum teori ini?orang mungkin akan menyatakan , karena pertanyaanya khusus tertuju pada situasi “kelompok minoritas”, yakni perempuan,maka teori yang dihasilkan tentu juga khusus dan terbatas ruang lingkupnya,sama dengan teori sosiologi perilaku menyimpang atau proses kelompok kecil. Tetapi, sebenarnya pertanyaan mendasar feminism telah menghasilkan teori tentang dunia sosial yang penerapannya universal. Teori feminis tak sama dengan teori tentang kelompok kecil atau perilaku menyimpang yang diciptakan karena sosiolog mengalihkan perhatian mereka dari “gambaran menyeluruh” kerincian gambaran (vitur) dari gambaran menyeluruh itu. Teori feminis ini lebih tepat disejajarkan dengan pencapaian epistemologis marx.
Begitupula, pertanyaan teoritis mendasar feminism menghasilakan perubahan revolusioner dalam pemahaman kita tentang kehidupan sosial. Pertanyaan ini juga membawa kita menemukan bahwa apa yang telah kita anggap sebagai pengetahuan yang absolute dan universal tentang kehidupan sosial ternyata adalah pengetahuan yang berasal dari pengalam ddari berbagai mesyarakat yang berkuasa, yakni dari lelaki sebagai “tuan”.
Tantangan radikal feminism terhadap system pengetahuan yang sudah mapan, dengan membandingkannya dengan pemahaman tentang kualitas dari sudut pandang wanita, tak hanya menisbikan,tetapi juga “mendekonstruksi” pengetahuan yang sudah mapan itu. Mengatakan pengetahuan itu “didekonstruksi” adalah sama dengan mengatakan bahwa kita ini menemukan apa yang tersembunyi dibelakang pengenalan pengetahuan yang mapan, tunggal dan alamiah, yakni bahwa pengennalan ini adalah sebuah tafsiran yang bersandar pada tatanan sosial, relasional dan kakuasaan. Feminism merontokan system pengetahuan yang mapan dengan menunjukan bias maskulin dan tatanan polotik menurut jenis kelmin (gender). Namun, feminism sendiri menjadi sasaran tekanan nisbian dan para dekonstruksionis dari dalam batas-batas teoritisnya sendiri terutama dalam decade terakir. Tekana pertama dan lebih kuuat berasal dari wanita yang menghadapi status heteroseksual kulit putih dan privileged class dari banyak tokoh feminis yaitu dari wanita kulit berwana, wanita dalam masyarakat colonial, wanita kelas pekerja, lesbian. Para sosiolog sejak tahun 1960an telah merespon tantangan pertanyaan dasar feminism ini dengan empat cara : pertama, dengan memasukan jawaban pertanyaan tersebut kebidang sosiologi, sebuah upaya yang masih berjalan ;kedua, dengan mencoba mengorientasikan kembali teori-teori sosiologi kepada pertanyaan ini, sebuah pproyek terutama pada pertengahan 1970an sampai 1990an;ketiga, dengan menghubungkan teori-teori feminism yang berbeda-beda, pola yang masih tanpak jelas; dank ke empat, bilisasi kontemporer untuk menyusun system teori sosiologi feeminis yang koheren. Respon yang pertama dan kedua ditinjau secara singgkat dalam bagian berikuut dan yang ketiga dan keempat akan dibahas lebih lanjut dibagian bawah ini.
Teori sosiologi tentang gender 1960- sekarang
Teori sosial makro tentang gender
Pertanyaan pertama feminism “ dan bagaiman dengan wanita?” telah menghasilakan tanggapan yang signifikan dari teoritisi yang terbagi kedalam tiga perspektif sosial makro utama, yaitu fungsionallisme, teori konflik analitis dan teori system neomarxisme. Para teoritisi ini menggunakan proses analisis yang sama dalam menempatkan perbedan jenis kelamin dalam analisis teoritisi umum mereka terhadap fenomena berskala luas. Pertama,merreka mendefinisikan teori itu sebagai system antar hubungan dan struktur interaksi yang dipahami sebagai keterratuuran pola dalam perrilaku individual. Teoritisi fungsional dan teoritisi konflik analitik memusatkan perhatian pada Negara-neggara atau kadang-kadang khususnya dalam teoori konflik analitik pada pengelompokan kultur pramodern,teori system duunia memusatkan pembicaraan pada kapitalisme global sebagai sebuah system transisi dimana Negara bengsa adalah struktur yang penting. Kedua,teoriitisi ini memusatkan pada keadaan wanita didalam system yang telah digambarkanya itu. Ketiga, masing-masing tiga kelompok teoritisi ini mencoba menerangkan sstratifikasi gender yang dipandang hamper secara universal merugikan wanita.
Fungsionalisme. Pendukung utama teori fungsionalosme gender adalah Miriam Johnson. Berbicara sebagai teoritisi fungsional dan sebagai feminis, ia pertama kali mengakui kegagalan fungsionalisme dalam meneliti secara memadai kerugian yang dialami wanita dalam masyarakat. Yang penting bagi teoritisi fungsional untuk memahami masalah gender adalah aplikasi Johnson atas konsep parsons seperti peran eksspresif versus instrumental, tesisnya tentang hubunngan lembaga keluarga dengan lembaga sosial lain, dan modelnya tentang masyarakat fungsional.
Teori konflik analitik, teori yang palingberpengaruh yang menganalisis masalah gender berdasarkan perspektif teori konflik adalah Janet Chefetz. Pendekatan chefetz adalah lintas cultural dan lintas historis dan mencoba merumuskan teori gender dalam seluruh pola-pola kemasyarakatan khususnya. Secara lebih khusus , ia memusatkan perhatian pada masalah kettimpangan gender yang disebutnya sebagai stratifikasi jenis kelamin. Bertolak dari stratifikasi jenis kelamin ini Chafetz berpegang teguh pada praktik teori konflik analitik. Ia menemukan bentuk perulangan konflik sosial dan menganalisisnya dari sudut nilai netral kondisi structural yang menghasilkan intensitas konflik yang meningkat atau menurun.
Teori system dunia, teori ini memandang kapitalisme global diseluruh fase historisnya sebagai sebuah system untuk dijadikan sasaran analisis sosiologi. masyarakat nasional dan kelompok cultural khusus lainnya adalah struktur penting dalam system kapitalisme dunia karena merupakan stratifikasi ekonomi dari masyarakat dan kelompok-kelompok itu, pembagian kerja, modal dan kekuasaan diantara dan didalamnya, dan hubungan kelas di dalam setiap unit sosial. Dengan demikian, teori ini secara khas hanya memahami peran wanita yang menjadi bagian kapitalisme yakni ketika wanita bekerja dalam proses produksi dan pasar kapitalis. Tetapi, keterlibatan penuh dan langsung dengan isu gender segera membuat model system sosial ini menjadi persoalan.
Teori sosial mikro tentang gender
Pakar teori sosiologi mikro kurang memperhatikan kerugian sosial wanita ketika membahas masyarakat sebagai manusia yang berinteraksi. Pertanyaan yang mereka ajukan adalah mengapa gender muncul dalam interaksi dan mengapa interaksi menghasilkan perbedaan gender. Dua teori sosiologi mikro utama gender adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi.
Teori interaksi simbolik tentang gender dimulai dengan proposisi yang penting bagi setiap analisis teoritisnya. Interaksionalisme simbolik membalikkan anggapan Freud yang menyatakan pengenalan diri dengan jenis kelamin orang tua yang sama adalah unsur kunci dalam pengembangan identitas gender. Analisis pakar interaksionisme simbolik menunjukkan bahwa individu terlibat dalam mempertahankan diri berdasarkan gender dalam segala situasi, individu mempunyai gagasan tentang apa makna menjadi lelaki atau wanita.
Etnometodologi mempertanyakan stabilitas identitas menurut gender dan memperhatikan bagaimana gender diperankan oleh actor dalam berbagai situasi. Pakar etnometodologi (Zimmerman) membuat perbedaan penting teoritis antara jenis kelamin, kategori jenis kelamin dan gender. Gender tidak melekat dalam diri seseorang tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu. Baik interaksionisme simbolik maupun etnometodologi menghargai dan menerima lingkungan institusional konsepsi normative tentang jenis kelamin. Goffman dan teoritisi interaksionisme simbolik dibawah pengaruh post modernisme makin menegaskan bahwa konsepsi itu bukanlah satu-satunya jalan untuk berintearksi dengan orang lain.


Variasi Teori Feminis Kontemporer
Diseksi ini disajikan “peta” atau tipologi teori feminis yang melandasi bangunan teori sosiologi feminis.tipologi feminis kita didasarkan atas pertanyaan paling mendasar, “Dan apa peran wanita?” secara esensial ada 4 jawaban untuk pertanyaan tersebut, 1) bahwa posisi dan pengalaman perempuan dari kebanyakan situasi berbeda dari yang dialami lelaki dalam situasi itu. 2) posisi wanita dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan atau tak setara disbanding laki-laki. 3) bahwa situai wanita harus dipahami dilihat dari sudut hubungan kekusaan langsung antara laki-laki dan wanita. Wanita “ditindas”, dalam arti dikekang, disubordinasikan, dibentuk dan digunakan, serta disalahgunakan oleh lelaki. 4) wanita mengalami pembedaan, ketipangan dan berbagai penindasan berdasarkan posisi total mereka dalam susuna stratifikasi atau vector penindasan dan hak istimewa kelas, ras, etnisits, umur, status perkawinan, dan posisi global. Masing-masing teori feminis tersebut dapat digolongkan sebagai teori perbedaan gender, atau teori ketimpangan gender, atau teori penindasan gender, atau teori penindasan structural. Kaitan antara teori feminis dan sosiologi gender membantu untuk menjelskan “groundedness” dalam prinsip dan praktik dari karya teoritis feminis; yakni relasi dinamis antara riset dan temuan teoritis. Klaim teoritis sering kali dibuat scara induktif di dalam pernyaan riset, setidaknya diturunkan secara deduktif dari karya teoritis.
Perbedaan Gender
Dalam sejarah pemikiran feminis, “perbedaan” menjadi masalah dalam beberapa perdebatan penting. Semua teori perbedaan jender harus menghadapi persoalan yang biasanya diistilahkan sebagai “argument esensialis”: yaitu, tesis bahwa peredaan fundamental antara pria dan wanita adalah kekal (immutable). Kekelan itu biasanya dapat dirunut ke tiga faktor: 1) biologi; 2) kebutuhan institusional sosial laki-laki dan perempuan untuk mengisi peran yang berbeda-beda, khususnya, tapi tidak semata-mata dalam keluarga; 3) kebutuhan eksistensial atau fenomenologis dar manusi untuk menghasilkan “Other” sebagai bagian dari tindakan definisi diri. Alice Rossi (1977, 1983) mengeksplorasi tesis bahwa keadaan biologi manusia menentukan banyak perbedaan social antara lelaki dan perempuan. Tetapi secara keseluruhan respon feminis terhadap sosiologi bersifat menentang. Bagian ini akan melihat pada tiga teori perbedaan jender: feminism cultural, teori persyaratan institusional, dan teori yang didasarkan pada filsafat atau fenomenologi.
Feminisme Kultural. Feminisme kultuaral biasanya, tetapi tidak selalu, lebih berkaitan dengan peningkatan nilai-nilai perbedaan peremuan ketimbang menjelaskan asal-usulnya. Jadi, ia sering sekali menghindari pertanyaan apakah perbedaan antara laki-laki dan perempuan tercipta secara biologis atau alamiah ataukah sebagian besar tercipta secara social (socially constructed). Tesis esensialis tentang perbedaan jender yang abadi menyatakan bahwa jender ditentukan oleh jenis kelamin (sex) dan sex ini menentukan sebagian besar factor, seperti kepribadian, kecerdasan, kekuatan fisik dan kapasitas menjadi pemimpin masyarakat. Para teorisi seperti Margaret Fuller, Frances Willard, Jane Addams dan Charloote Perkins Gilman merupakan proponen feminism kultural yang mengatakan bahwa dalam mengatur Negara, masyarakat memerukan nilai-nilai perempuan seperti kerja sama, perhatian, pasifisme, dan penyelesaian konflik tanpa menggunakan kekerasan. Dalam implikasinya yang lebih luas dalam perubahan sosial, feminism kultural mengatakan bahwa cara perempuan dalam menjalani hidup dan mendapatkan pengetahua bisa menjadi model yang lebih baik untuk menghasilkan masyarakat yang adil ketimbang preferensi tradisonal dari kultur androsentris pria.
Peran Institusional. Teori ini mengatakan bahwa perbedaan gender berasala dari perbedaan peran laki-laki dan perempuan di dalam berbagai setting institusional. Satu determinan utama dari perbedaan itu menurut teori ini adalahpembagian tenaga kerja seksual yang mengaitkan perempuan dengan fungsisebagai istri, ibu, pekerja rumah tangga, ruang pribadi di rumah dan keluarga, dank arena itu mengaitkanya dengan serangkaian peristiwa dan pengalaman yang sangat berbeda dengan pria. Tetapi beberapa sosilog melihat peran teori institusional menghadirkan model yang terlalu statis dan deterministik. Mereka menekankan kerja aktif orang di dalam memproduksi gender dalam praktik institusional yang dikontekstualisasikan, dimana tipifikasi cultural gender diberlakukan, dijalankan, dialami dan bahkan diubah. Teori-teori ii mendiskripsikan orang sebagai “doing gender” dalam personalitas yang digenderkan.
Analisis Fenomenologis dan Eksistensial. Pemikir feminis yang menawarkan analisis fenomenologis dan eksistensial telah mengembangkan salah satu tema teori feminis yang penting:marginalisasi perempuan sebagai Other dalam kultur yang diciptakan lelaki.Rumusan klasik tema ini ada dalam analisis eksistensial oleh Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949/1957), tetapi ada banyak pernyataan penting lainnya, termasuk Bartsky (1992), Daly (1978), Griffin (1978, 1981), Ortea (2001) D. smith (1987) dan Wilton (2000). Dalam penjelasan ini dunia yang didiami manusia dikembangkan dari kultur yang diciptakan lelaki dan mengasumsikan pria sebagai subjek, yakni sebagai kesadaran yang darinya dunia dilihat dan didefinisikan.
Ketimpangan Gender
Ada empat tema yang menandai teori ketimpangan gender. 1) lelaki dan wanita diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara berbeda, tetapi juga timpang. 2) Ketimpangan ini berasal dari organisasi masyarakat, bukan dari perbedaan biologis ataukepribadian penting antara lelaki dan wanita. 3) meski manusia individual agak berbeda cirri dan tampangnya satu sama lain, namun tak ada pola perbedaan alamiah signifikan yang membedakan lelaki dan wanita. Malahan seluruh manusia ditandai oleh kebutuhan mendalam akan kebebasan untuk mencari aktualisasi diri dan oleh kelunakan mendasar yang menyebabkan mereka menyesuaikan diri dengan ketidaleluasaan atau peluang situasi dimana mereka menemukan diri mereka sendiri. 4) semua teori ketimpangan menganggap baik itu lelaki maupun wanita akan menanggapi situasi dan struktur social yang makin mengarah kepersamaan derajat (egalitarian) dengan mudah dan secara alamiah. Dengan kata lain, mereka membenarkan adanya peluang untuk mengubah situasi.
Penindasan Gender
Seluruh teori penidasan gender melukiskan situasi wanita sebagai akibat dari hubungan kekuasaan langsung antara lelaki dan wanita, dimana lelaki mempunyai kepentingan mendasar dan konkret untuk mengendalikan, menggunakan, menaklukan dan menindas wanita, yakni untuk melakukan dominasi. Menurut teoritisi penindasan, dominasi adalah setiap hubungan dimana pihak (individu atau kolektif) yang dominan berhasil membuat pihak lain (individu atau kolektif) yang disubordinasikan sebagai alat kemauannya dan menolak untuk mengakui kebebasan subjektivitas pihak yang disubodinasikan. Atau sebalikya, dilihat dari pihak yang disubordinasikan, adalah hubugan dimana penempatan pihak yang disubordinasikan hanyalah sebagai alat kemauan pihak yang dominan (Lengerman dan Niebrugge, 1995). Menurut teoritisi penindasan, situasi wanita pada dasarnya hanyalah digunakan, dikendalikan, ditaklukan dan ditindas oleh lelaki. Kebanyakan teoritisi feminis awal memusatkan perhatian pada isu ketimpangan jenis kelamin, sedangkan ciri utama tanda teori feminis kontemporer adalah keluasan dan intensitas perhatiannya terhadap penindasan (Jaggar, 1983). Dua jenis teori penindasan; feminism psikoanalisis dan feminism radikal.
Feminisme Psikoanalisis. Berupaya menerangkan system patriaki dengan menggunakan teori Freud dan pewaris intelektualnya. Teori-teori ini memetakan dan menekankan dinamika emosional kepribadian, emosi, yang sering terpendam di bawah sadar atau ketidaksadaran kejiwaan, teori-teori juga menyoroti pentingnya peran masa kanak-kanak dalam memolakan emosi ini. Namun, dalam upaya menggunakan teori freud, teoritisi feminis terpaksa mengolah kembali kesimpulan mendasar Freud karena Freud sendiri mempunyai kesimpulan yang gender specific, yang terkenal seksis dan patriakis.
Seperti semua teoritisi tentang penindasan, mereka melihat patriaki sebagai sebuah system dimana lelaki menaklukan wanita, sebuah sistem universal yang merembes ke dalam organisasi sosialnya, bertahan lama di ruang dan waktu, dan mampu bertahan atas tantangan berkala. Kekhasan feminisme psikoanalisis adalah pandangannya bahwa system patriaki adalah sebuah system dimana seluruh lelaki dalam tindakan sehari-hari mereka dengan penuh semangat terus-menerus bekerja untuk mencipta dan melestarikan system. Wanita hanya kadang-kadang menentang namun jauh lebih sering menyetujui penindasan atas diri mereka tanpa bantahan atau secara aktif berperan karena posisi subordinasi mereka sendiri. Feminisme psikoanalisis kemudian menjelaskan penindasan wanita dilihat dari sudut kebutuhan emosional mendalam lelaki untuk mengendalikan wanita yang berasal dari neurosis yang hampir umum diderita lelaki yang terpusat pada ketakutan akan kematian dan pada pertentangan perasaan terhadap ibu yang mengasuh mereka. Wanita kurang menderita neurosis ini atau menjadi sasaran neurosis yang saling melengkapi, tapi dalam kedua kasus itu mereka secara kejiwaan menyerah tanpa sumber energi yang kurang setara untuk menentang dominasi.
Feminisme Radikal. Didasarkan atas dua keyakinan sentral: (1) bahwa wanita mempunyai nilai positif mutlak sebagai wanita, suatu keyakinan yang ditegaskan untuk menentang apa yang mereka nyatakan sebagai devaluasi wanita universal; dan (2) bahwa wanita dimana-mana ditindas dengan keras oleh system patriaki. Feminism radikal melihat bahwa di dalam setiap institusi dan di dalam struktur masyarakat yang paling mendasar terdapat sitem penindasan dimana orang tertentu mendominasi orang lain, penindasan itu terjadi antarseks (jenis kelamin), kelas, kasta, etnis, umur dan warna kulit. Struktur penidasan paling mendasarterdapat dalam sitem patriaki, penidasan lelaki atas wanita. Menurut feminisme radikal, patriaki kurang diperhatikan, tetapi merupakan struktur yang sangat penting dari keimpangn sosial.
Sasaran utama analisis ini adalah citra patriaki sebagai praktik kekerasan oleh lelaki dan dan oleh organisasi yang didominasi lelaki atas wanita. Kekerasan tak selalu berbentuk kekejaman fisik lahiriah. Kekerasan dapat tersembunyi dibalik praktik eksploitasi dan control yang lebih kompleks: dibalik standar mode dan kecantikan; dibalik gagasan tirani keibuan; dibalik praktik ginekologi, ilmu kebidanan dan psikoterapi; dibali pekerjaan rumah tangga yang tak diupah dan dibalik pekerjaan yang diupah, tetapi tetap rendah. Kekerasan muncul bila satu kelompok mengendalikan peluang hidup, lingkungan, tidakan dan presepsi kelompok lain untuk kepentingannya sendiri, seperti yang dilakukan lelaki terhadap wanita.
Penindasan Struktural
Teori penindasan structural menganalisis bagaimana kepentingan dalam dominasi diperlakukan melalui struktur sosial melalui aransemen besar yang terus berulang dan rutin yang selalu merupakan asasmen kekuasaan yang muncul disepanjang sejarah. Para teoritisi ini memfokuskan pada structural patriarki, kapitalisme, rasisime, dan heteroseksisme, dan mereka menempatkan pelaksanaan dominasi dan pengalaman penindasaan dalam interplay dari structural – structural tersebut, yakni dalam cara dimana mereka saling menguatkan satu sama lain.
Analisis feminisme sosialis dapat dibagi dalam tiga penekanan yang berbeda :
1. Feminisme materialis, menekankan dan meletakan relasi jender dalam struktur system kelas kapitalis kontemporer. Feminism materialis menekankan pada pengaruh dari kapitalisme global terhadap perempuan dan cara tenaga kerja perempuan terhadap pengaruh penambahan kekayaan dalam system kapitalis. Dalam kapitalisme global perempuan mendapat upah yang rendah disbanding laki – laki karena konsep patriarki menganggap rendah perempuan.
2. Feminisme kontemporer, yang disusun oleh Dorothy Smith dan murid – muridnya adalah relasi kekuasaan
3. Materialisme cultural, program perubaham feminis sosialis menyerukan solidaritas global di kalangan perempuan untuk memerangi kapitalisme yang menindas perempuan.
Teori interseksionalitas teori ini bermula pada penindasan perempuan yang mengalami intensitas dan derajat penindasan yang berbeda – beda. Artinya bahwa setia perempuan mengalami penindasan berdasarkan jender , ras, kelas , usia, prefensi seksual. Perbedaan pengalaman penindasan pada perempuan akan menjadi dasar terbentuknya teori tentang pengalaman perempuan. Argument dari teori ini adalah pola interaksi dapat menentukan suatu penindasan.

teori dekontruksi

1. Pengertian Dekonstuksi
Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Terapan ilmu ini jauh lebih sulit dari penjelasannya. Bahkan, karena teori ini sulit untuk dimengerti, timbul banyak kontroversi dan kritik terhadapnya. Toh, tetap saja Derrida menanggapi hal tersebut dengan santai, bahkan ia mengatakan, “Tak seorang pun pernah marah pada matematikawan atau seorang dokter yang tidak dipahaminya sama sekali atau kepada seseorang yang berbicara dengan sebuah bahasa asing. Tetapi, mengapa kita nampaknya selalu meminta filsuf untuk berbicara secara “mudah” dan bukanny kepada para ahli-ahli tersebut yang bahkan lebih susah lagi untuk dipahami oleh pembaca yang sama ?”

______________________________________
1. pengertian dekonstruksi : http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi
Kesulitan ini lebih bermuara pada gaya prosanya yang sulit untuk ditembus. Derrida memang mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi tidak didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis mengenai konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli 1983, demikian isinya :
“…Dekonstruksi bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-maxhab tertentu (universitas maupun budaya, khususnya di Amerika Serikat) “metafora” teknis dan metodologis yang dianggap dapat mendekati arti kata “dekonstruksi” ternyata malah merusak atau menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila dikatakan bahwa dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi suatu instrumen metodologis atau memberikan padanya serangkaian aturan dan prosedu-prosedur yang dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap “peristiwa” dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat mungkin pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.”
Dekonstruksi mengajarkan kita untuk memikirkan dan merenungkan lagi dasar, praktik, konsep, dan nilai kita. Apapun itu, setelah kita menggunakan dekonstruksi, pandangan kita tidak akan menjadi terlalu dogmatis atau fanatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih.
2. Akar pemikiran dekonstruksi derrida
Membaca Derrida tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah yang melatar belakanginya.

____________________
2. http://yesalover.wordpress.com/2007/03/16/dekonstruksi-derrida-upaya-untuk-memecah-mecah-konsep/ (

Kita juga tidak bisa gegabah dalam memetakan konsep pemikiran Derrida.
Sebelum saya memaparkan konsep-konsep Derrida tentang dekontruksi, intertekstualitas, trace dan logocentrisme tentunya saya harus memberikan penjelasan tentang para pemikir yang mempengaruhi Derrida.
Dalam pergulatan pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh fenomenologinya Hussrel dan Heidegger, psikoanalisisnya Freud dan genealogi moralnya Nietzstche. Satu abad yang lalu sejarah filsafat atau sejarah pemikiran telah disodori drama pembunuhan Tuhan oleh Friederich Nietzsche, tetapi lima puluh tahun kemudian,seperti percepatan kemajuan teknologi setelah ditemukan mesin cetak,secara berturut-turut segala sesuatu selama ini merupakan elemen-elemen dasar filsafat dihancurkan.bahkan pada tahun 1990 di Wayne State University,Amerika secara lebih radikal mengadakan konferensi The end of Theory,sebab pada masa itu banyak berpendapat teori telah berakhir .pendek kata zaman ini adalah zaman hyperscepticism,atau disebut zaman yang dipenuhi tanda tanya.
Teks Friederich Nietzsche dan Heidegger telah mempertanyakan konsep-konsep matafisika tentang waktu dan sejarah yang nantinya secara bebas digunakan pula untuk sejarah tanda,tetapi hanya lewat Derrida-lah,pertanyaan itu menjadi explisit,jelas dan tegas. Dalam melihat metafisika sebagai yang ada kehadiran logosentrisme. Melalui tulisan Muhammad Al-Fayyadl dalam buku yang berjudul Derrida inilah akan bisa melakukan pembacaan atas pemikiran Derrida melalui teks-teks filsafat yang merupakan sebuah sistem yang menjadi pusat dari narasi-narasi metafisik yang ditampikkan oleh kalangan postmodernisme.tentu ide dan logika Derrida dalam rangka membongkar logosentrisme akan mengalami kesulitan,terlebih dahulu harus meninjau ulang sejarah metafisika barat.dalam hal ini,kritik atas sejarah metafisika barat harus melalui tahapan ontologis tentang being (ada).
Upaya Heidegger dan Derrida dalam membongkar sejarah filsafat metafisika barat ini hanya mempersoalkan tentang matinya logosentrisme harus berhasil membongkar paradigma cartesian yang terlalu memusatkan cogito. Karena itu, ada baiknya untuk sejenak mengulas pemikiran Derrida dalam menjawab kegelisahan tentang perlunya sebuah pemikiran alternatif, gagasan yang membela perbedaan di dunia yang tengah dihantui ancaman penyeragaman seperti yang terjadi saat ini. Derrida menawarkan teori dekonstruksi yang begitu identik dengan filsafat posmodernisme. Kemunculan teori dekonstruksi yang anti-metode ini mendapat tanggapan serius dari berbagai ilmuwan (hal:17).
Mereka yang berkeberatan dengan teori dekonstruksi sebagai bentuk intellectual gimmick (tipu muslihat intelektual) ) yang tidak berisi selain permainan kata-kata. Di sisi lain, dekonstruksi diartikan sebagai sebuah pembelaan kepada the other, atau kepada makna 'lain' dari teks dan logika. Dengan kata lain, sebuah pembebasan. Lebih jauh dalam buku ini, saya melihat bahwa dekonstruksi sama sekali bukan bagian dari nihilisme naif yang selalu menafikan kebenaran sebagaimana yang asumsikan para penentangnya. dekonstruksi bergerak melampaui nihilisme naif maupun dogmatisme tradisional. Dekonstruksi juga mengingatkan, bahwa setiap konstruksi tidak bisa mengelak dari karakter metaforis dan intertekstual bahasa atau teks, juga pada akhirnya kebenaran yang disusun tidak tunggal dan begitu rentan.
Selebihnya, Dekonstruksi yang ditawarkan Derrida membawa konsekuensi serius pada ranah pemikiran,karena kecenderungan antifondasionalismenya yang tinggi. Konsekuensi itu mengharuskan dia menelenjangi klaim-klaim kebenaran dari sistem diskursif filsafat dan metafisika. Ini semua dilakukannya untuk membebaskan penafsiran dari beban makna (hal:22).
Dilihat dari kacamata agama, dekonstruksi Derrida mempunyai dimensi teologis, yakni lebih menunjuk pada ketidakmungkinan untuk membicarakan Tuhan karena pengaruh dan efek dari difference muncul dari penghormatan yang lain. Akibatnya dekonstruksi memperlihatkan untuk mencapai kebenaran (atau kebenaran sebagai yang-tak-mungkin) berasal dari tidak adanya lagi horizon pemaknaan yang dapat kita bangun untuk mengetahui kebenaran.
Dalam dimensi teologis ini, Derrida juga berbicara tentang iman akan yang tak-mungkin. Melalui iman, dia merasakan hasrat yang lain dalam arti hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma. Ini terlihat dari pengalaman religius dengan menganut agama Yahudi sejak kecil, tetapi akhirnya dia beralih dari agama Yahudi dan masuk ke 'agama tanpa-agama' yaitu agama yang lebih merupakan pengalaman religius dan cara pandang dalam mendekati Ilahi sebagai yang-tak-mungkin.
Sehingga bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam "teks", yang selama ini telah ditekan atau ditindas. Adalah konsep penting dalam pemikiran Derrida di mana ia mendefinisikannya secara semiologis, wacana-wacana yang melibatkan praktik interpretasi, bahasa menjadi penting. Bagi Derrida, tidak ada yang eksis di luar "teks", realitas sesungguhnya tidak ada sebab semua realitas dikonstruksi secara budaya, linguistik atau historis, hanyalah "teks". Oleh sebab itu, realitas terdiri dari berbagai "teks" dengan kebenaran yang plural. Tidak ada kebenaran universal.
Menurutnya, manusia harus berhati-hati dengan representasi realitas yang diklaim secara universal mengandung kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya dikonstruksi lewat penalaran yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional yang mencoba merepresentasikan dunia yang sesungguhnya (real). Bahasa rasional berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu-menciptakan makna dengan kehadiran metafisika.
Strategi dekonstruksi membongkar semua itu bukan dengan hanya menciptakan makna baru, karena pembongkaran makna adalah yang melibatkan what is dan bukan what isn’t. Oleh sebab itu, konsep différence menjadi penting, yang mengungkapkan what isn’t bukan berdasarkan perbedaan, namun secara terus-menerus melakukan penundaan (deferred). Ada argumen yang menarik yang diajukan Derrida bahwa upaya untuk mendekonstruksi makna lewat différence dengan cara kerja what isn’t melibatkan terminologi perbedaan dan penundaan.

___________________
3.akarpemikiran : http://www.ruangbaca.com/resensi/?action=b3Blbg==&linkto=Njc=.&when=MjAwNTEwMTA

Namun, di balik seluruh pemikiran dan karya besarnya, Derrida tetap menjadi penting bagi kelompok pegiat filsafat di Indonesia, walaupun karya Derrida yang di tulis fayyadl sangat berat bagi sebagian masyarakat Indonesia dan tidak populer.
Dan lebih populer karya karl marx. Tetapi karya anak bangsa Indonesia yang mau menekuni Deriida ini bisa menjadi acuan untuk belajar filsafat bahasa dan semiotika.

3. Dekonstruksi Derrida
• Dekonstruktor dibalik Derrida
Nietzsche, Freud, Husserl dan Heidegger adalah orang-orang yang mengilhami dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi secara umum dilakukan dengan meletakkan sous rature oleh Nietzsche pada “pengetahuan”, Freud pada “psikhe”-nya dan Heidegger pada “Mengada” (Being)-nya. Nietzsche adalah orang pertama yang memulai proyek dekonstruksi. Kritik-kritik tajam yang diarahkan pada filsafat Barat dan seluruh praktek perabadan Barat adalah suatu pekerjaan dekonstruktif. Terutama sekali yang mempengaruhi Derrida adalah gaya penulisan filosofisnya yang bersikukuh dengan sikap skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan dan kebenaran. Dan membebaskan pikiran dari batas-batas konseptual yang mengurungnya.
Nietzsche bersikap skeptis terhadap metode dan konsep, kemudian mengalihkannya pada metafor dan bahasa figuratif, di mana segala kebenaran lahir dari sana. Filsafat dari Plato sampai sekarang, dengan menggunakan tirani rasio selalu menyingkirkan segala hal yang berkaitan dengan bahasa figuratif. Metafora dan segenap bahasa figuratif adalah kegairahan hidup yang menyuguhkan keragaman akan pemahaman. Nietzsche berusaha menghidupkan kembali tradisi yang dikubur oleh rezim rasio, bahwa kebenaran makna adalah relatif, bermetafora dan bergeser terus.


__________________
4. Dekonstruksi derrida : G:\dian\teori-dekonstruksi-derrida.html
Metafor-metafor bahasa inilah yang menjadi titik tolak tulisan-tulisan Derrida.
Dekonstruksi juga dilakukan Freud dengan mengusung tema pikiran tidak sadar, di mana sebelumnya kesadaran dan rasionalitas selalu menjadi superior dalam urusan kesadaran.
Tujuan dari einklamerung semacam ini adalah menangguhkan sementara kata atau objek yang tidak memadai. Heidegger juga mengenal metode ini, dengan Freud juga mempengaruhi “tulisan” (writing) Derrida, terutama mengenai tafsir mimpi yang diungkap melalui bahasa simbolik. Husserl mengenalkan metode menempatkan kata dalam tanda kurung (einklamerung). memberi “tanda silang” (Überqueren). Sebuah kata diberi tanda silang apabila maknanya dianggap tidak memadai namun masih berguna. Sehingga kata dibiarkan saja tercoret di bawah tanda silang. Heidegger sering menyilang kata “Mengada” (Being), sehingga kata yang tertulis menjadi “Mengada”.
Dalam Of Grammatology Derrida menjelaskan tanda melalui “jejak” (trace). Dengan kalimat terkenalnya Derrida menyatakan, “tanda adalah sebutan-jelek terhadap sesuatu” (sign is that ill-named thing), inilah cara satu-satunya menyelamatkan filsafat yang terinstitusional (Derrida, 1976: 19). Tanda tidak memiliki kehadiran, ia akan selalu ditentukan jejaknya yang tidak hadir. Tanda adalah sesuatu yang tidak utuh dan terus dipertukarkan dengan makna lain serta terus-menerus bergeser. Maka makna menjadi tertunda sampai batas yang tak berhingga, di sana lah différance mulai sedikit terjelaskan.
Dengan demikian dekonstruksi tidaklah identik dengan nama Derrida, sebab maknanya bisa bergeser ke Nietzsche, Freud, Heidegger atau tokoh dekonstruksi yang datang belakangan. Sebab bila trace menempatkan kata pada ruang makna yang berjejak, maka demikianlah maksud Derrida atas ketidakidentikan dekonstruksi dengan namanya. Atau bahkan ia pun sesungguhnya mendekonstruksi namanya sendiri, sebagaimana yang ia sering nyatakan.
• Dekonstruksi ala Derrida
Lahirnya peradaban Barat adalah bentuk pemujaan terhadap logos setidaknya demikianlah yang dibaca Derrida ketika dikaitkannya dengan logosentrisme. Filsafat yang notabene sebagai pelaku utama peradaban Barat, selama ini hanya mampu menggantungkan diri pada logosentrisme (bersinonim dengan metafisika). Memusatkan dan mengembalikan semua pencarian kebenaran pada logosentrisme. Pusat selalu menandai kesatuan konstan suatu kehadiran eidos, archè, telos, energeia, ousia (esensi, eksistensi, subtansi, subjek), aletheia, transendentalitas, kesadaran atau kata hati, Tuhan, manusia, dan seterusnya (Derrida, 2001: 25 lihat dalam Spivak 1976 : 37).
Kumpulan logos tersebut antara lain: Idea, Tuhan, Rasio, Empiri, Kehendak, Roh Absolut, Materi, Struktur, dan sebagainya. Jadi apa yang ditafsirkan Nietzsche dengan “Tuhan” sama arti dengan logosentrismenya Derrida. Filsafat Barat mengasumsikan ada kebenaran esensial yang melatarbelakangi bentuk luar kebenaran (penanda) yang langsung berkaitan dengan sesuatu yang transendental yang stabil dan kokoh (logos). Di mana semua bentuk luar kebenaran harus bertolak pada kebenaran esensial yang transendental.
Sebanding dengan logosentrisme adalah fonosentrisme dan phalosentrisme phallus bukan semata organ aktual, namun sebuah penanda yang menggantikan seluruh penanda yang menandakan setiap hasrat terhadap segala ketidakhadiran. Watak logosentrisme ini kemudian melibatkan diri dalam oposisi biner, yang memberikan hak istimewa pada terma-terma super. Pengoposisian yang berkaitan dengan semiologi adalah oposisi penanda/petanda.
Derrida melihat ketidakmungkinan mencapai kebenaran atau makna tunggal melalui asumsi-asumsi logosentrisme, karena dekonstruksi selalu bekerja dalam teks-teks filsafat yang terinstitusional. Dekonstruksi pada awalnya adalah pembacaan teks pada sastra, ia bergerak di wilayah sastra. Namun pada akhirnya dekonstruksi masuk ke dalam seluruh wacana filsafat. Jadi dekonstruksi itu pembacaan filsafat secara sastrawi. Dekonstruksi adalah metode membaca teks secara sangat cermat hingga menemukan ketidakkonsistenan dan paradoks dalam konsep-konsep teks secara keseluruhan.
Dekonstruksi tidak pernah membangun sebuah sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia menyusup, menyebar dan menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah terprogram oleh logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program tersebut, ia akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan mereproduksi diri dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap menggerogoti program tersebut.
Namun demikian tugas dekonstruksi tidak semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain. Seperti yang Derrida (1976) katakan, …tugas dekonstruksi adalah …membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendinskripsikannya kembali dengan cara lain. Cara mendinskripsikannya dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya si pemikir alat yang positif.
Semua filsafat Barat, juga pada fenomenologi dan strukturalisme, adalah dua institusi filsafat yang ingin membuktikan bahwa tuturan adalah tempat aktualisasi kebenaran dan makna. Husserl mengklaim bahwa kehadiran diri ada dalam suara (phone). Suara yang dimaksud adalah suara dalam kesendirian batin: “Ketika bicara saya mendengar diriku sendiri. Saya bicara sekaligus mendengar dan memahami”. Husserl ingin menyodorkan fakta-fakta psikis yang diderivasi dari living present, dan membuktikan tuturan lebih dekat dengan psikis dari pada tulisan yang cenderung berjarak. “Makna kehadiran” atau fenomenologi menamainya “kehadiran langsung” (living present) adalah kesadaran yang ditata dan mendapatkan makna yang berdimensi waktu.
Demikian juga Saussure membuktikan bahwa tuturan adalah sumber kebenaran. Berbeda dengan tulisan yang berlumuran segala macam ketertutupan makna, dalam tuturan ada hubungan langsung suara dan rasa (sense), karena ada kedekatan dengan kehadiran-diri yang memuat serangkaian makna di dalamnya. Jika fenomenologi dan strukturalisme mencari kebenaran melalui pemusatan elemen-elemennya.
Hal ini berkebalikan dengan apa yang dilihat Derrida. Semua usaha pemusatan, baik pada “kata hati” atau “struktur” akan dihadapkan pada “situasi kebuntuan penafsiran” (aporia), di mana pusat tidak lagi dapat bekerja. Tuturan pada suatu saat akan menemui tindakan atau perkataan ambigu ketika penutur mengalami keraguan dengan apa yang dimaksudkan dalam tuturannya. Aporia menunjukkan bahwa pusat pada saatnya adalah jalan buntu bagi penafsiran. Justru pada saat kebuntuan terjadi, bagi aporia adalah segala macam tempat makna akan terjejaki. Bukan dengan menunggalkan makna melalui pengoposisian, tapi membuat plural makna dengan melepas pemisah oposisinya.
Dari semua tradisi filsafat Barat, tulisan selalu diberi tempat kedua dibandingkan tuturan. Ia berpredikat sebagai transkripsi fonetis; artifisial; teralienasi; mekanis; merusak kemurnian kehadiran; orang asing; medium yang tak memiliki rupa dan sosok (depersonalized); bayangan seram yang jatuh di antara maksud dan makna, antara tuturan dan pemahaman. Tulisan adalah ancaman bagi pandangan tradisional yang mengisolasi kebenaran dengan kehadiran-diri bahasa yang bisa mengekspresikan diri.
Tulisan yang ditangan-duakan, semakin memperlihatkan oposisi biner dalam semua filsafat Barat. Derrida mengkritik bahwa mereka lupa men-sous rature-kan oposisi biner, dan tidak memperkarakan oposisi tersebut. Penghapusan oposisi tuturan/tulisan adalah praktek grammatologi, yakni “ilmu tentang tulisan”, yang membalik hierarki dan orientasi teori bahasa yang bukan tuturan, tapi tulisan (Culler, 1979: 158).
Derrida tidak ingin membuktikan bahwa tulisan adalah sesuatu yang lebih mendasar dari tuturan. Dekonstruksi adalah aktivitas pembacaan yang terikat dengan teks dan tidak bisa berdiri sendiri sebagai sistem operasi konsep-konsep yang tertutup. Pembacaan teks di sini lebih berarti menunda makna kehadiran yang di anggap bersemayam di balik teks tersebut, baik dalam teks tuturan dan tulisan. Pembongkaran selubung makna yang menutupi teks adalah apa yang ingin dipentaskan dalam aksi-aksi grammatologis.
Grammatologi awalnya adalah proklamasi kemenangan tulisan atas tuturan melalui pembalikan hierarki struktur dalam teks. Grammatologi juga merupakan cara kerja dekonstruksi yang ditujukan pada struktur dalam teks tulisan itu sendiri. Teks tulisan bagi grammatologi adalah suatu tanda (sign) yang berkontradiksi antara penanda dan petandanya, yang menghilangkan pusat teks melalui penjejakan (trace) makna. Ketika pusat tercerabut dari tempatnya, ia pun akan menimbulkan ketidakstabilan, yang memberi petunjuk pada bahasa akan kebebasan permainan.
Pertarungan penanda dan petanda bukanlah metode penguasaan dengan mencari kesatuan yang bermuara pada petandanya, namun dengan penjejakan (trace). Sehingga runtuhnya oposisi biner menempatkan teks menjadi polisemi dalam permainan ketidaktertangkapan makna secara terus-menerus atau diseminasi. Usaha tersebut memerlukan desublimasi konseptual atau “keterjagaan” yang memiliki kekuatan menelanjangi sikap Barat terhadap pemikiran dan bahasa.
Dekonstruksi bisa dijelaskan dengan cara lain melalui cara kerja différance. Différance adalah manifestasi dari dekonstruksi penanda secara grafis. Différance seperti halnya tulisan adalah pelafalan anonim yang kebal terhadap segala bentuk reduksi. Arti dari différance sendiri berada pada posisi menggantung, antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menunda). (Fayadl, 2004: 110)
Status makna kata yang menggantung ini adalah pembuktian tidak utuhnya kata différance itu sendiri. Sekaligus membuktikan kelemahan Saussure, yang menempatkan struktur sebagai pusat yang menyatukan perbedaan bahasa yang berisi oposisi dan men-superior-kan tuturan dari pada tulisan. Status menggantung juga mempersilahkan grammatologi untuk bertindak, ketidakpastian dan tertundanya makna terus-menerus adalah bagaimana grammatologi diterapkan secara grafis.
Pelafalan différance meskipun pada akhirnya melahirkan struktur diferensial dalam tulisan, namun tidak menghasilkan kehadiran. Huruf “a” dalam kata itu mengingatkan kita bahwa, kata yang dilafalkan secara sempurna selalu tidak hadir, dia dibentuk melalui rangkaian kesalahan pelafalan yang tak berujung, bahkan dalam struktur grafis sekalipun (Fayadl : 110).
Dekonstruksi juga mereproduksi beragam pengertian yang menyertainya, namun pada akhirnya tidak melahirkan definisi yang jelas. Derrida mengingatkan berbagai pengertian tersebut bukanlah kata dan konsep. Pengertian-pengertian tersebut adalah kata yang tidak utuh karena maknanya harus ditunda. Mereka harus saling dipertukarkan satu dengan lainnya secara acak, sehingga membentuk mata rantai-mata rantai kata.
Semiologi sebagai ilmu pertandaan yang bekerja mengoposisikan penanda dan petanda dengan metode yang regorous, pada akhirnya ketika dijangkiti virus dekonstruksi dengan sendirinya akan menghadapi kehancuran diri. Penanda sebagai bentuk material dari tanda bukan lagi sebagai derivasi langsung dari petanda. Struktur yang selama ini menjamin adanya kehadiran makna dalam bahasa tidak lagi mendiami tempatnya. Hubungan pertandaan tidak ditentukan oleh struktur sebagai pusat kekuatan makna yang bermuara pada petanda yang tunggal. Sebab pusat sebagaimana yang dibaca Derrida atas Lévi-Strauss terhadap mitologi adalah laksana ilusi historis (Derrida, 2001: 46).
Maka makna itu ditentukan oleh jejak (trace) penandanya, yang senantiasa berjejak, bergeser, berpindah ke sembarang arah. Sehingga teks adalah permainan ketidakpastian polisemi bahasa yang diseminasif. Dengan membalik struktur hierarki dalam hubungan pertandaan yang sekaligus menghilangkan oposisinya, maka tidak ada superioritas pada salah satu termanya. Demikianlah penanda akan senantiasa bergeser terus-menerus.
Karya-karya Derrida memang susah sekali untuk diinterpretasikan. Selain dalam penulisnya menggunakan bahasa prancis klasik, Derrida menggunakan bahasa yang seringkali memang susah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan ambigu. Tulisan seperti ini sepertinya sengaja digunakan Derrida supaya tidak terjebak pada logosentrisme. Hal ini banyak diakui oleh para reader Derrida. Barangkali saya juga salah dalam memberikan interpretasi tentang pemikiran Derrida. Tapi saya masih meyakini perkataan Derrida tentang author is dead.
Dengan demikian ulisan-tulisan Derrida masih membuka peluang yang besar untuk dikoreksi kembali. Derrida tidak pernah menganggap tulisanya sebagai karya yang fixs. Dia masih memberikan ruang yang luas dalam meninjau ulang tulisanya. Untuk menjelaskan Derrida, saya berkepentingan untuk memberikan sedikit paparan tentang strukturalisme. Dengan membahas aliran ini, kiranya untuk membahas pemikiran Derrida bisa mudah untuk difahami.


_____________________
5. Dekonstruksi derrida : G:\dian\teori-dekonstruksli-derrida.html


4. Kritik
Jika strukturalisme menempatkan konsruksi bangunan sebagai hal penting dalam sebuah karya sastra, sehingga unsur-unsurnya harus terpadu secara kokoh dan harmonis, dekonstruksi justru menjungkirbalikkan pemikiran itu. Teori dekonstruksi yang dikembangkan Derrida memberikan peluang untuk menempatkan apa yang tidak penting dalam strukturalisme menjadi sesuatu yang penting. Tokoh yang tidak penting dalam kajian strukturalisme misalnya, bisa saja menjadi tokoh penting dalam kajian dekonstruksi. Satu hal yang sangat menonjol dari dekonstruksi adalah sifatnya yang menafikan penafsiran berdasarkan hermeneutika.
Derrida, melalui teori semiotika Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan. Menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran.
Itulah kelebihan Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi.
Itulah kelemahan Dekonstruksi Derrida. Kelemahan lain adalah:
1. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna. Retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai dan obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
2. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasa-biasaan pemaknaan dapat dicegah.
4. Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.
Karena itu, diperlukan sebuah model semiotika baru untuk menjawab kekurangan-kekurangan tersebut.
Jika strukturalisme menempatkan konsruksi bangunan sebagai hal penting dalam sebuah karya sastra, sehingga unsur-unsurnya harus terpadu secara kokoh dan harmonis, dekonstruksi justru menjungkirbalikkan pemikiran itu. Teori dekonstruksi yang dikembangkan Derrida memberikan peluang untuk menempatkan apa yang tidak penting dalam strukturalisme menjadi sesuatu yang penting. Tokoh yang tidak penting dalam kajian strukturalisme misalnya, bisa saja menjadi tokoh penting dalam kajian dekonstruksi. Satu hal yang sangat menonjol dari dekonstruksi adalah sifatnya yang menafikan penafsiran berdasarkan hermeneutika. Dekonstruksi menempatkan diri sejauh-jauhnya dari hermenutika.
Teori dekonstruksi dengan kelemahan sebagaimana dikemukakan di atas sama sekali tidak cocok untuk digunakan pada rencana penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Penulis harus konsisten dalam menempatkan Syekh Siti Jenar sebagai tokoh utama dalam kedua naskah yang diperbandingkannya. Artinya, penulis tidak dibenarkan mendekonstruksi kedua naskah yang dibandingkannya itu sehingga asing-masing naskah menjadi sesuatu yang “lain”. Oleh karena itu, penggunaan teori dekonstruksi untuk tujuan yang hendak dicapai dari rencana penelitian yang akan dilakukan penulis harus dihindarkan.

_______________________
6. Kritik : http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/20/kritik-teori-dekonstruksi-derrida/

Kamis, 14 Januari 2010

ANTROPOLOGI NON POSITIVIS

1. Teori Kritik Kebudayaan
a) Latar Belakang Kemunculannya
Semula studi budaya klasik cenderung bersifat positivistik yang hanya menerangkan paparan-paparan yang terbubuhkan tanpa melibatkan relasi hegemonik di balik terbentuknya sebuah kebudayaan. Sejak itulah studi tentang kebudayaan lahir. Studi tentang kebudayaan mengkritisi tentang fenomena kebudayaan yang tidak bisa melepaskan diri dari media maupun kapitalisme.
Tahun 60-an di Inggris,studi tentang kebudayaan(culture studies) mulai diusung oleh beberapa pemikir yakni Stuart Hall,Richard Hoggart,Raymond Williams,dan yang lainnya. Studi budaya baru yang muncul antara lain adalah teori kritis. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Max Horkheimer melalui essay berjudul Traditional and Critical Theory pada tahun 1937. Ia dan beberapa pemikir mahzab Frankfurt melakukan pembaharuan terhadap cara pandang marxis yang digunakan dalam kajian sosial. Paradigma ini sebenarnya telah muncul sejak jaman pencerahan oleh Imanuel Kant melalui karyanya yang berjudul Kritik Der Reinen Verminft tahun 1981. Kant melakukan penyadaran diri dari paradigma saintik positivistik milik Cartesian.
Teori kritis juga memperoleh bantuan dari teori psikoanalisis Lacanian. Lacan memberikan gambaran bahwa seringkali ketidaksadaran merupakan proses yang direkayasa sebagai sebuah alat kekuasaan.
b) Tokoh Pencetus
Stuart Hall,Richard Hogart,Raymon Williams dan kawan-kawan adalah tokoh pencetus teori kritik kebudayaan yang berasal dari inggris . Teori tersebuat dicetuskan pada tahun 60-an Studi budaya baru yang muncul antara lain adalah teori kritis. Teori ini dipergunakan karena telah berhasil menjadi piranti anti-positivistik ampuh alam kajian ilmu social.
Selain itu Jacques Lacan juga berperan dalam mencetuskan teori kritis melalui teorinya,psikoanalisis Lacanian. Jacques Lacan merupakan tokoh pemikir dari Prancis yang terkenal.Penjelasan Lacan memberikan gambaran bahwa aspek ketidaksadaran merupakan factor inheren dalam sikap dan tingkah laku manusia. Seringkali ketidaksadaran merupakan proses yang direkayasa sebagai sebuah alat kekuasaan.
c) Contoh Analisis dalam Antropologi
Studi tentang kebudayaan(cultural stuies) erat kaitannya dengan beberapa kajian,misalnya Studi media,Studi budaya pop,poskolonialisme dan lain-lain. Kajian tersebut erat kaitannya dengan persoalan hegemoni yang tak mampu diurai jeratnya tanpa teori kritis.

2. Teori Kritis
a) Pengertian Menurut Habermas
Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrumen teknis dari subjek individu, dalam pengertian monad, yang kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi. Barat modern menyaksikan bahwa keinginan menguasai alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam kepentingan praktis dan emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional untuk kehidupan bersama hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi.
Konsepsi Habermas tentang teori kritis mengalami kristalisasi pada tahun 60-an dalam karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the Social Sciences dan Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, dengan mengatakan bahwa paradigma positivistik sesuai untuk ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih sesuai didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis—seperti dalam ilmu alam—dan praktis—seperti dalam ilmu budaya—seharusnya berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial adalah, pertama, memahami situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis dari individu atau kelompok; kedua, memahami kekuatan-kekuatan yang menyebabkan situasi tersebut; dan ketiga, menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa diatasi melalui kesadaran individu atau kelompok yang teropresi tentang kekuatan-kekuatan itu.
Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yang universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan manusia dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara.
Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa dunia objektif, alih-alih kesepakatan ideal, adalah penentu kebenaran. Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap benar, ternyata benar, hal itu karena pernyataan itu dengan tepat merujuk pada objek yang ada atau dengan tepat mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang metafisika dan lebih memilih berbicara tentang hal-hal yang praktis dan implikasinya untuk diskursus dan tindakan keseharian.
b) Analisis Kapitalisme menurut Habermas dengan Karl Marx
Titik utama keluarnya Habermas dari pemikiran Marx adalah argument bahwa tindakan komunikatif ,bukan tindakan rasional-bertujuan(kerja),adalah fenomena manusia yang khas dan paling trsebar luas. Tindakan komunikatif(bukan kerja) adalah landasan bagi seluruh kehidupan sosiokultural maupun bagi seluruh ilmu manusia. Kalau Marx tergiring perhatiannya pada kerja,habermas diarahkan untuk memusatkan perhatiannya pada komunikasi.
Marx tak hanya memusatkan perhatiannya pada kerja,ia juga menjadikan kerja bebas dan kreatif sebagai dasar bagi analisis kritis pada berbagai epos histories,khususnya kapitalisme. Habermaspun memakai sebuah pijakan dasar ,namun ia berada di ranah komunikasi ketimbang di ranah tindakan rasional-bertujuan. Pijakan dasarnya adalah komunikasi bebas distorsi,tanpa paksaan. Dengan pijakan dasar ini habermas dapat menganalisis distorsi komunikasi secara kritis. Haberas mencurahkan perhatiannya pada struktur social yang mendistorai komunikasi,sebagaimana ketika Marx menelaah sebab-sebab struktural distorsi kerja.
Dengan kata lain,menurut Marx kekuatan pendorong kapitalisme adalah eksploitasi dan alienasi tenaga kerja. Sedangkan Habrmas kapitalisme modern kurang menaruh perhatian besar terhadap yang dikemukakan oleh madzab Frankfurt yang lebih awal. Dia menekankan dominasi teknlogi dan nalar instrumental

3. Teori Dekontruksi
a) Pengertian
Dalam wikipedia disebutkan bahwa dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Dekonstruksi, secara umum adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita.
Menurut Jaques Derrida dekonstruksi memang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena menurutnya dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Singkatnya,konsep dekonstruksi tidak didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis mengenai konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli 1983, demikian isinya :
“…Dekonstruksi bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-mazhab tertentu (universitas maupun budaya, khususnya di Amerika Serikat) “metafora” teknis dan metodologis yang dianggap dapat mendekati arti kata “dekonstruksi” ternyata malah merusak atau menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila dikatakan bahwa dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi suatu instrumen metodologis atau memberikan padanya serangkaian aturan dan prosedu-prosedur yang dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap “peristiwa” dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat mungkin pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.
b) Asal Usul
Dalam pergulatan pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh fenomenologinya Hussrel dan Heidegger, psikoanalisisnya Freud dan genealogi moralnya Nietzstche. Satu abad yang lalu sejarah filsafat atau sejarah pemikiran telah disodori drama pembunuhan Tuhan oleh Friederich Nietzsche, tetapi lima puluh tahun kemudian,seperti percepatan kemajuan teknologi setelah ditemukan mesin cetak,secara berturut-turut segala sesuatu selama ini merupakan elemen-elemen dasar filsafat dihancurkan.bahkan pada tahun 1990 di Wayne State University,Amerika secara lebih radikal mengadakan konferensi The end of Theory,sebab pada masa itu banyak berpendapat teori telah berakhir .pendek kata zaman ini adalah zaman hyperscepticism,atau disebut zaman yang dipenuhi tanda tanya.
Teks Friederich Nietzsche dan Heidegger telah mempertanyakan konsep-konsep matafisika tentang waktu dan sejarah yang nantinya secara bebas digunakan pula untuk sejarah tanda,tetapi hanya lewat Derrida-lah,pertanyaan itu menjadi explisit,jelas dan tegas. Dalam melihat metafisika sebagai yang ada kehadiran logosentrisme.Tentu ide dan logika Derrida dalam rangka membongkar logosentrisme akan mengalami kesulitan,terlebih dahulu harus meninjau ulang sejarah metafisika barat.dalam hal ini,kritik atas sejarah metafisika barat harus melalui tahapan ontologis tentang being (ada).
Upaya Heidegger dan Derrida dalam membongkar sejarah filsafat metafisika barat ini hanya mempersoalkan tentang matinya logosentrisme harus berhasil membongkar paradigma cartesian yang terlalu memusatkan cogito.
c) Tokoh Pencetus
Derrida dikenal sebagai pendasar teori dekonstruksi yang menjadi wacana postmodern. Sebagai pendasar teori, tentunya ada sejumlah ide menyertai perjalanan refleksi intelektualnya, sampai pada akhirnya ia menggagas konsep dekonstruksi. Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris, Perancis tanggal 8 Oktober 2004 –Karena itu Derrida lebih dikenal sebgai filosof Perancis daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat, terutama kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah konsep. Dekonstruksi, alat yang digunakan untuk meruntuhkan konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini.
d) Tujuan Akhir Dekontruksi
Sebuah dekonstruksi tidak pernah benar-benar hendak menghancurkan dirinnya sendiri maupun masa lampau tetapi semua justru hendak dirangkum di dalam kepenuhan yang semakin menyeluruh. Hal ini terbukti ketika Derrida ‘meruntuhkan’ keberadaan pelaku di dalam sebuah pertunjukan drama. Ia menghendaki agar para pengamat sendiri dapat menjadi pelaku dalam pertunjukan itu. Kepenuhan filsafat ada pada keterlibatan siapa pun dalam setiap proses untuk “menjadi subjek” di dalamnya, untuk menjadi penting dan berperan karenanya.
e) Perbedaan dengan Etnografi Klasik
Derrida menolak anggapan jika makna mempunyai korespondensi ideal antara bunyi sebuah kata dengan subjek dan makna yang dikandungnya. Menurut Derrida, relasi merupakan objek yang arbiter, yang berubah-ubah menurut waktu. Pendekatan dekonstruktif lebih menyoroti isi teks agar ia dapat menyingkapkan makna yang seharusnya literal namun telah termanifestasi ke dalam berbagai metafora maupun perwujudan kata-kata. Tujuan dekonstruksi bukan untuk menjembatani dua jurang yang ada itu –antara kata dan makna-, melainkan hanya untuk menunjukkan jika jurang itu memang sudah seharusnya ada dan tidak dapat dielakkan lagi.
Sedangkan biasanya etnografi berisi tentang deskripsi suatu komunitas yang kecil (mikro).Pembatasan deskripsi itu biasanya berupa lokasi, bisa suatu desa, komunitas tertentu atau suatu kelompok masyarakat kecil, kota, bagian dari kota. Tujuan etnografi justru untuk menjembatani dua jurang yang ada diantara kata dan makna.

4. Teori Feminisme
a) Pengertian
"Feminisme" berasal dari bahasa Perancis. Di Amerika Serikat, feminisme dikenal sebagai "gerakan perempuan" abad ke-19. Dalam arti, berbagai jenis kelompok yang semua tujuannya sejalan ataupun tidak, mengarah pada "kemajuan" posisi perempuan .
Feminisme adalah satu pemikiran yang menyadari adanya ketimpangan antara laki-laki dengan perempuan selama ini dalam kebudayaan(dan berbagai segi kehidupan) Studi feminisme adalah label ”generik” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan (gender) dalam masyarakat.
b) Latar Belakang Kemunculannya
Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.
Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ";menaikkan derajat kaum perempuan"; tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul ´Vindication of the Right of Woman´ yang isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
c) Memperjuangkan
Tujuan dari teori feminisme adalah kesetaraan sehingga ketika sudah ada kesadaran akan ketimpangan maka usaha yang dilakukan adalah mengubah kondisi timpang tersebut menjadi kondisi yang setara.Feminisme memiliki beberapa konsep kunci yakni sex,gender dan patriarki.
d) Perbedaan antara Sex,Gender,dan Patriarki
Sex adalah segala sesuatu yang merupakan cirri atau atribut jenis kelamin yang melekat pada diri seseorang individu. Ciri ini bersifat terberi secara alamiah sehingga tidak bisa diubah keberadaannya dari tubuh kita.
Gender adalah implikasi social cultural dari adanya perbedaan sex yang dilakukan oleh masyarakat.Gender adalah atribut feminitas dan maskulinitas yang melekat pada diri individu sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Gender merupakan konstruksi(sesuatu yang dibangun) oleh masyarakat.
Patriarki yakni suatu pemikiran yang mengedepankan pandangan laki-laki.kebenaran selalu dirunut dari perspektif laki-laki. Sehingga ini meminggirkan perempuan. Patriarki menempatkan perempuan subordinate atau berada di bawah kekuasaan laki-laki baik dalam ranah public maupun privat atau keluarga.

Daftar Pustaka

Ahmad Fedyani.2006.Antropologi Kontemporer.Jakarta: Kencana.

George Ritzer dan Douglas J. Goodman,2008,Teori Sosiologi Klasik.Yogyakarta:Kreasi Warna.
Magnis-Suseno,Franz.1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.Penerbit: Kanisius:Yogyakarta.
satrioarismunandar.multiply.com/journal/item/13

toak.co.cc/2009/07/dekonstruksi-derrida-menghancurkan.html

id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi

artikel.sabda.org/feminisme

galeryfeminis.blogspot.com/2009/05/sekilas-sejarah-feminisme.html

pakmuh.blospot.com/2009/03/teori-kritis-dan-kebudayaan.html
inibuku.com/6790/Jacques-lacan-diskursus-dan-perubahan-sosial-pengantar-kritik-kebudayaan-psikoaalisis.html